Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA, Pemerintah perlu membuat peta jalan (roadmap) dan persiapan detail sebelum petani diwajibkan memiliki sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dalam lima tahun mendatang. Persoalan legalitas dan status kepemilikan lahan menjadi tantangan berat petani.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, mengatakan, masalah utama petani adalah legalitas lahan yang merupakan peryaratan utama mendapatkan sertifikasi ISPO karena benturan kerasnya ada di situ.
Menurutnya, persoalan legalitas lahan tersebut mencakup seperti lahan sawit pekebun swadaya terindikasi berada di kawasan hutan, belum memiliki legalitas SHM (baru SKT), dan belum ada STD-B.
Baca Juga: Gapki sebut kinerja ekspor sawit tergantung pemulihan ekonomi negara tujuan ekspor
"Tantangan lain mewajibkan ISPO Pekebun yaitu tidak terdokumentasinya aspek agronomis kebun petani seperti sertifikat bibit, pencatatan aspek pupuk, belum terbentuknya koperasi dan belum ada Internal Control System (ICS),” kata Gulat dalam dialog Ngeriung Bicara Sawit (NGEBAS) seri-IV bertemakan “Mandatori ISPO: Petani Mau Dibawa Kemana?”, yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia dan DPP Apkasindok, pekan lalu.
Gulat menjelaskan bahwa persoalan inilah yang membuat keterlibatan petani dalam sertifikat ISPO sejak tahun 2015 sangat rendah, saat masih Permentan ISPO 2015 memang belum wajib bagi Petani untuk ISPO, namun di Perpres ISPO 2020 sudah diwajibkan pula.
Merujuk data Komisi ISPO, setelah adanya aturan ISPO ini lima tahun yang lalu , baru 12.270 hektar perkebunan sawit petani bersertifikat ISPO atau 0,21% dari luas total kebun sawit petani 5,807 juta hektar.
Itu sebabnya, petani sangat khawatir apabila mandatori (wajib) ISPO menjadi persoalan baru dan sangat serius. Dalam kurun waktu 54 bulan ke depan, ditambahkan Gulat, tanpa sertifikasi ISPO maka TBS petani berpeluang ditolak oleh PKS bersertifikat ISPO dan ini akan memperburuk situasi di saat Pemerintah berhasil di sektor kemandirian energi biodisel.
“Tidak menutup kemungkinan, petani akan tersingkir (removed) dalam rantai pasok sawit Indonesia, lantaran tidak mempunyai sertifikasi ISPO. Kami petani bukan tidak mendukung ISPO tetapi pemerintah dalam hal ini kementerian terkait sebaiknya mencarikan solusi (vaksin) atas hambatan yang dihadapi petani untuk di ISPO kan” jelas Gulat yang juga merupakan Auditor ISPO.
Baca Juga: Tepis isu miring, sertifikasi sawit diperkuat
Direktur Responsible Palm Oil Initiative mengaku heran mengapa petani swadaya dan plasma disamakan dalam ISPO. Karena itu konsep ISPO untuk petani swadaya (smallholder) tidak boleh dimasukkan dalam satu kategori dengan Petani Plasma, itu jauh berbeda. Yang paling dirugikan dalam hal ini adalah pekebun swadaya yang menghadapi tantangan legalitas lahan, itu faktanya, belum lagi persyaratan lainnya.
Ia menjelaskan bahwa sertifikasi ISPO seharusnya mengacu kepada kemampuan dan kepentingan masyarakat Indonesia. Dalam prinsip sustainability untuk mencapai tujuan prosperity agar dipertimbangkan keikutsertaan semua pihak terkait, jangan ditinggalkan mereka yang ada di rantai pasok, ini akan menghilangkan sumber pendapatan mereka.