kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Cara mengelola agroekosistem lahan gambut tropis


Rabu, 17 Agustus 2016 / 16:09 WIB
Cara mengelola agroekosistem lahan gambut tropis


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

KUCHING. Seperti lahan gambut di wilayah Asia Tenggara lainnya, lahan gambut di Sarawak, Malaysia, menghadapi tantangan terkait kebutuhan pertanian untuk memenuhi pangan, sosial, dan ekonomi. 

Namun demikian, dengan terbatasnya lahan pertanian, pemanfaatan lahan gambut yang berlimpah di wilayah Sarawak tidak terhindarkan. 

Lulie Melling, Presiden Direktur IPS sekaligus Direktur Tropical Peat Reseach Laboratory (TRRL) mengatakan, untuk memanfaatkan lahan gambut, Pemerintah Malaysia dan asosiasi terkait ikut membangun pertanian ramah lingkungan.

Pembangunan pertanian ramah lingkungan ini dengan memperhatikan persoalan lingkungan seperti penurunan emisi karbon karena penggunaan lahan gambut.  

Menurut Lulie, pengelolaan pertanian lahan gambut harus memperhatikan proses-proses ekologi tanah, serta interaksi antara kultur teknis agronomi dan lingkungan.  

"Pengelolaan agroekosistem ini berbasis pada prinsip-prinsip drainase, pemadatan, dan pengelolaan air untuk mengintrasikan kebutuhan pertanian, alam, lingkungan untuk kesejahteraan manusia," kata Lulie dalam sambutannya di acara kongres lahan gambut bertajuk 15th International PEAT Congress 2016 di Kuching, Malaysia, Selasa (16/8).  

Pengelolaan agroekosistem berbasis lingkungan di Sarawak, kata Lulie, dilakukan di perkebunan kelapa sawit tanah gambut, hutan rawa gambut sekunder, dan hutan rawa gambut tidak terganggu.  

Pemadatan pada tanah gambut dilakukan untuk meningkatkan kepadatan masa tanah (bulk density), dan daya dukung tanah gambut untuk mengurangi “tanaman doyong”, menurunkan pencucian hara tanah, serta meningkatkan hasil panen.  

Pemadatan secara mekanis, juga membawa keuntungan lain seperti penurunan emisi CO2 dan penurunan risiko gambut terhadap kebakaran karena pori-pori tanah gambut yang lebih kecil.

"Sehingga, meningkatkan gaya kapilaritas tanah dan tanah tetap lembab," imbuh Lulie.  

Menurut Lulie, kelembaban tanah yang tinggi karena meningkatnya kepadatan masa tanah (bulk density), ternyata juga menurunkan emisi CO2 di tanah gambut yang dibudidayakan. 

Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian tanah gambut yang dipadatkan dan yang tidak dipadatkan, yang dibandingkan dengan hutan rawa gambut sekunder dan hutan rawa gambut tidak terganggu.   

Keberhasilan dalam penerapan sistem pengelolaan agroekosistem berbasis lingkungan pada tanah gambut budidaya merupakan terobosan yang sangat baik untuk menjembatani kepentingan produksi kelapa sawit lahan gambut.

"Selain itu juga berguna bagi aspek lingkungan berdasarkan sintesa ilmiah, hasil penelitian, dan serta pemahaman tentang gambut itu sendiri," kata Lulie. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×