kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.284.000   34.000   1,51%
  • USD/IDR 16.595   -40,00   -0,24%
  • IDX 8.169   29,39   0,36%
  • KOMPAS100 1.115   -0,85   -0,08%
  • LQ45 785   2,96   0,38%
  • ISSI 288   0,88   0,31%
  • IDX30 412   1,48   0,36%
  • IDXHIDIV20 463   -0,53   -0,11%
  • IDX80 123   -0,09   -0,07%
  • IDXV30 132   -1,13   -0,85%
  • IDXQ30 129   -0,13   -0,10%

Catatan Pelaku Industri Soal Putusan WTO Menangkan RI di Sengketa Stainless Steel


Selasa, 07 Oktober 2025 / 18:54 WIB
Catatan Pelaku Industri Soal Putusan WTO Menangkan RI di Sengketa Stainless Steel
ILUSTRASI. Industri baja nasional berpeluang untuk memperluas pasar ekspor, terutama ke Eropa, setelah RI menang sengketa Stainless Steel di WTO.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri baja nasional berpeluang untuk memperluas pasar ekspor, terutama ke kawasan Eropa. Peluang itu terbuka pasca Panel Organisasi Perdagangan Dunia alias World Trade Organization (WTO) memenangkan Indonesia atas sengketa baja nirkarat (stainless steel) yang melibatkan Uni Eropa.

Dalam putusan yang dirilis pada 2 Oktober 2025, Panel menyatakan sebagian besar tindakan Uni Eropa terkait pengenaan bea masuk imbalan atau Countervailing Duties (CVD) terhadap stainless steel Indonesia tidak konsisten dengan aturan WTO. Khususnya Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM Agreement).

Panel WTO menilai kebijakan ekspor nikel Indonesia  tidak menyebabkan harga bahan baku untuk produksi stainless steel ada di bawah harga  wajar. Selain itu, fasilitas pengecualian bea masuk di kawasan berikat terhadap bahan baku stainless steel juga bukan merupakan subsidi ilegal. 

Menteri Perdagangan Budi Santoso menilai putusan ini menjadi sinyal positif keberlanjutan ekspor stainless steel Indonesia ke Uni Eropa. “Ini adalah pencapaian untuk menjamin akses pasar baja nirkarat Indonesia di Uni Eropa dan negara lain. Kami mendorong Uni Eropa menghormati putusan Panel WTO dan segera mencabut bea masuk imbalan yang tidak sesuai aturan," ungkap Budi dalam keterangan tertulis yang disiarkan akhir pekan lalu.

Baca Juga: Pengadaan Chromebook di Masa PJJ Disorot, Celah untuk Korupsi Tetap Terbuka

Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anne Patricia Sutanto memandang putusan Panel WTO atas sengketa stainless steel ini bisa membawa sinyal positif bagi dunia usaha. Penghapusan CVD oleh Uni Eropa berpotensi membuka ruang lebih luas bagi produk stainless steel Indonesia untuk kembali bersaing secara adil di pasar Eropa.

Meski begitu, Anne mengingatkan bahwa industri baja nasional masih berhadapan dengan sejumlah tantangan yang tidak ringan. Meski hambatan CVD dihapuskan, Indonesia tetap harus berhadapan dengan kompetisi ketat dari negara pengekspor utama lainnya seperti China, India, maupun negara-negara Eropa Timur yang sudah lebih dulu memiliki kapasitas besar, efisiensi tinggi, dan jejaring pasar yang kuat. 

"Artinya, putusan ini memang membuka pintu peluang, tetapi keberhasilan Indonesia memanfaatkannya sangat ditentukan oleh kemampuan industri baja nirkarat nasional untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi biaya, serta memenuhi standar mutu dan keberlanjutan yang ditetapkan oleh pasar global, khususnya Eropa," kata Anne saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (7/10).

Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Industri Manufaktur Apindo, Rahmat Harsono mengungkapkan bahwa secara umum peluang industri baja Indonesia masih besar untuk mengisi kebutuhan di pasar domestik maupun ekspor. Jika semua pabrik baja dalam negeri dapat meningkatkan output, hal ini akan berdampak positif terhadap neraca perdagangan Indonesia, khususnya dalam mengurangi ketergantungan pada impor produk baja tertentu. 

Namun, Rahmat memberikan catatan bahwa kondisi ini perlu didukung oleh kebijakan pemerintah yang konsisten. Antara lain melalui penguatan regulasi Standar Nasional Indonesia (SNI), pengendalian melalui larangan dan pembatasan (Lartas), serta pengetatan arus barang ilegal yang masuk ke pasar domestik. "Dengan begitu, industri baja dalam negeri mendapatkan kepastian pasar yang lebih sehat dan terlindungi," kata Rahmat.

Tantangan Industri Baja Nasional

Baca Juga: IHSG Lanjut Menguat, Namun Investor Perlu Waspadai Sentimen Ini

Sampai dengan tulisan ini dibuat, Ketum Umum Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA) Akbar Djohan belum merespons pertanyaan Kontan.co.id mengenai putusan Panel WTO yang memenangkan Indonesia atas sengketa ekspor stainless steel ke Uni Eropa. Sebelumnya, Akbar yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) membeberkan sederet tantangan yang dihadapi industri baja nasional.

Pertama, tekanan dari produk impor. Akbar menggambarkan, sekitar 40% - 55% kebutuhan baja nasional masih dipenuhi oleh impor, yang nilainya diestimasikan setara dengan Rp 80 triliun per tahun.

Kedua, pemanfaatan kapasitas produksi atau tingkat utilisasi industri baja nasional saat ini terbilang mini, yakni di bawah 57%. Menurut Akbar, kondisi ini jauh dari standar ideal pada level 80%. 

Ketiga, dalam skala global, industri baja sedang menghadapi tekanan besar akibat kelebihan pasokan (oversupply) dari China. Negeri Tirai Bambu itu mendongkrak ekspor baja sebagai upaya menekan kelebihan pasokan domestik, sehingga mengakibatkan penurunan harga dan margin industri baja dunia.

Akbar melanjutkan, pemerintah Indonesia saat ini baru menerapkan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk produk Hot Rolled Plate (HRP) dan Hot Rolled Coil (HRC). Namun, produk Cold Rolled Coil (CRC) dan baja hilir masih minim proteksi jika dibandingkan dengan beberapa negara yang telah menerapkan proteksi tarif impor yang kuat.

"Berdasarkan pengalaman Krakatau Steel dalam mencari mitra kerja sama, hal pertama yang mereka tanyakan adalah bagaimana proteksi baja impor di Indonesia. Jika proteksi tidak kuat, mereka lebih memilih impor ke Indonesia dibandingkan dengan berinvestasi di Indonesia," ujar Akbar dalam keterangan tertulis kepada Kontan.co.id, Senin (6/10).

Di sisi yang lain, KRAS tidak memproduksi stainless steel. Meski begitu, KRAS berupaya memacu pasar ekspor ke kawasan Eropa. Aksi terbaru dilakukan pada akhir bulan September. KRAS melalui anak usahanya, PT Krakatau Baja Industri (KBI) melakukan ekspor perdana cold rolled coil ke Spanyol dengan volume 54.247 ton.

Akbar bilang, Spanyol dan negara Eropa lainnya merupakan pasar potensial, sehingga ke depan KRAS akan terus berupaya meningkatkan jumlah pengiriman. Sepanjang tahun 2025, KBI telah menggelar ekspansi pasar ekspor ke sejumlah negara. Antara lain ke Amerika Seikat, Polandia, Belgia dan Portugal.

"Krakatau Steel berkomitmen mendorong hilirisasi melalui KBI menggenjot pasar ekspor produk baja bernilai tambah tinggi, yang banyak digunakan di berbagai sektor industri," tandas Akbar.

Baca Juga: Polytama Kantongi Sertifikat GRK, Petrokimia Pertama Verifikasi Emisi

Selanjutnya: 4 Ciri-Ciri Usus Bermasalah, Jangan Diabaikan!

Menarik Dibaca: 4 Ciri-Ciri Usus Bermasalah, Jangan Diabaikan!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×