Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan China untuk tetap mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) pada produk stainless steel asal Indonesia, dinilai akan berpengaruh pada proses hilirisasi dalam negeri.
Asal tahu saja, sebagai produsen bijih nikel terbesar di dunia, yang menguasai 60% produksi nikel dunia. Proses pemurnian atau hilirisasi nikel Indonesia mayoritas masih menggunakan teknologi pemurnian Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang memproses bijih nikel menjadi feronikel (FeNi) atau Nickel Pig Iron (NPI).
Produk ini kemudian digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan stainless steel atau baja tahan karat.
Dan berdasarkan data dari Indonesian Mining Association (IMA) 65% produksi nikel di Indonesia masih diperuntukan untuk produk stainless steel. Sedangkan sisanya digunakan untuk industri baterai mobil listrik.
Baca Juga: Kebijakan BMAD Stainless Steel dari China Bakal Berdampak Negatif ke Emiten Nikel
Menurut Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengatakan kebijakan ini dipicu fakta bahwa Indonesia adalah produsen stainless steel dengan biaya termurah di dunia, dibandingkan dengan industri sejenis di negara lain.
"Ini karena China menuding Indonesia melakukan dumping harga, dengan memberikan sejumlah fasilitas finansial dan kemudahan lainnya kepada pabrik pengolahan berbasis nikel yang beroperasi di Indonesia," ungkap Ketua Umum Perhapi Sudirman Widhy kepada Kontan, Senin (07/07).
Sudirman menambahkan, faktanya, biaya produksi stainless steel dari Indonesia bisa lebih murah dibanding negara lain termasuk China karena beberapa faktor strategis.
"Yang pertama karena struktural, terutama terkait program hilirisasi nikel, dan keunggulan Indonesia yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, serta pengintegrasian industri pabrik pengolahan RKEF yang menghasilkan Nickel Pig Iron (NPI) dengan pabrik stainless steel yang menjadikan NPI sebagai bahan baku utama," tambahnya.
Dirinya juga menyebut, China selama ini merupakan pasar utama ekspor stainless steel Indonesia. Sementara dalam beberapa bulan terakhir, pertumbuhan ekonomi China mengalami pelambatan, sedangkan pangsa pasar stainless steel lainnya di luar China, kondisinya relative sama.
Baca Juga: Begini Rekomendasi Saham Emiten Nikel, Terdampak Kebijakan BMAD Baja Nirkarat China
"Hal ini memicu kelebihan pasokan produksi, karena penyerapan produk berbasis nikel yang turun. Dampak langsungnya adalah penurunan harga, yang terefleksi dari harga nikel yang mengalami penurunan sepanjang tahun 2025 ini," jelasnya.
Pada bagian hilir, pengenaan bea masuk produk stainless steel ini, berpotensi akan mengurangi daya saing produk Indonesia, dikarenakan margin keuntungan yang berkurang
"Efek lanjutan, jika pabrik stainless dan RKEF mengalami tekanan biaya dan beban produksi yang tinggi, bisa jadi akan menyebabkan penurunan produksi yang berpotensi menekan volume ekspor, serta perolehan devisa dari ekspor," ujarnya.
Hal senada juga diungkap oleh Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli, menurutnya pengenaan BMAD akan berpengaruh terhadap harga terutama produk produk stainless steel seperti billet baja dan hot roll coil (HRC).
"HRC sebagian besar produknya diekspor ke China, sedikit sekali pemakaian di dalam negeri," kata Rizal saat dikonfirmasi, Senin (07/07).
Baca Juga: Bea Masuk Anti Dumping Baja Nirkarat Indonesia Diperpanjang China, Ini Kata Kemendag
Meski bagitu, Rizal masih optimis, melihat tarif BMAD yang dikenakan China ke negara-negara lain jauh lebih besar dibandingkan Indonesia.
"Ini masih lebih kecil dibandingkan negara lain seperti Uni Eropa, Jepang, Inggris, dan Korea yg tarifnya bervariasi antara 18,1% sampai 103,1%" katanya.
Untuk diketahui, China kembali menerapkan BMAD atas produk stainless steel yang berasal dari Indonesia sebesar 20,2%.
Melansir Bloomberg, peraturan yang berlaku mulai 1 Juli 2025 ini membuat beberapa produsen smelter China yang beroperasi di Indonesia seperti Tsinghan dipaksa menangguhkan beberapa produksi baja nirkarat mereka di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang berlokasi di Sulawesi Tengah.
Selanjutnya: Pemerintah dan DPR Sepakati Asumsi Dasar Makro 2026, Cermati Rinciannya
Menarik Dibaca: QRIS Tumbuh 169%, Sistem Pembayaran Digital Harus Diperkuat Keamanannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News