Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Minat investasi di industri kelapa sawit nasional tak pernah sepi. Meskipun ada sejumlah hambatan dari dalam dan luar negeri seperti aturan moratorium perkebunan kelapa sawit di Indonesia serta maraknya kampanye negatif produk kelapa sawit di pasar Eropa dan Amerika Serikat (AS), hal itu tak menyurutkan niat investasi asing di perkebunan kelapa sawit.
Yang paling baru adalah minat yang datang dari investor asal China yang notabene selama ini menjadi pasar utama ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) asal Indonesia.
Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengakui adanya minat dari investor China dalam bisnis kelapa sawit tersebut. "Hari ini, ada pertemuan dengan investor China yang tertarik bisnis kelapa sawit," ujarnya ke KONTAN, Selasa (22/11).
Namun, Musdalifah masih enggan menjelaskan lebih detail hasil pertemuan tersebut. Asal tahu saja, delegasi China dan sejumlah perusahaan kelapa sawit menggelar pertemuan tertutup pada Selasa (22/11) kemarin. Inti dari pertemuan ini adalah pertajam soal hasrat investor negeri tirai bambu untuk masuk bisnis kelapa sawit di Indonesia yang telah muncul sejak tahun 2013 silam.
Namun, rencana ini perlahan-lahan mulai tenggelam karena pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium izin perluasan lahan kelapa sawit serta turunnya harga kelapa sawit global dalam dua tahun terakhir pada level harga rata-rata US$ 600 per metrik ton.
Nah, rencana ini kembali mengemuka tahun ini menyusul kembali terdongkraknya harga minyak sawit global. Selain itu, ada data yang menyatakan bahwa CPO mulai kembali bersinar China. Buktinya, tahun 2015 lalu, ekspor CPO Indonesia ke China berhasil menembus 3,99 juta ton atau naik 64,19% ketimbang ekspor di tahun 2014 yang hanya 2,43 juta ton.
Pasar lebih seksi
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyebut bahwa China mulai menyadari besarnya potensi pasar CPO di negara mereka sendiri.
Sahat menyebut apabila kelas menengah China tumbuh sekitar 2% maka diprediksikan mereka akan mencari tambahan CPO sekitar 3 juta ton. "Makanya, jika China minat investasi di indonesia sebenarnya cukup bagus bagi Indonesia," ujarnya.
Meski secara volume ekspor masih di bawah Uni Eropa yang rata-rata menyerap 4,5 juta CPO Indonesia per tahun, tapi pasar ekspor China dinilai Sahat lebih seksi ketimbang Uni Eropa. Pasalnya, pasar China tak terlalu banyak aturan dan tuntutan soal standardisasi, sehingga potensi peningkatannya cukup besar. Hanya pertumbuhan ekonomi China yang menghambat pembelian CPO lebih besar dari tahun sebelumnya.
Gamal Nasir, Pengamat Perkebunan menyebut ketertarikan China pada bisnis kelapa sawit di Indonesia sudah terendus sejak lama. Namun, hal ini tak kunjung terealisasi karena sejumlah faktor. Pertama, soal lahan.
Mantan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kemtan) ini menyatakan, batas maksimal kepemilikan lahan kelapa sawit sebanyak 100.000 hektare (ha) per perusahaan sempat membuat China berpikir ulang untuk berinvestasi. Apalagi, sejak tahun lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan moratorium kebun sawit.
Kedua, faktor pekerja asing. Seperti diketahui dalam setiap investasinya, China kerap mensyaratkan peluang bagi warga negara mereka bekerja di negara tujuan investasi. "Hal ini yang perlu diwaspadai pemerintah jika China jadi investasi," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News