Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Pemerintah diminta memperketat impor baja paduan. Pengetatan impor dilakukan karena saat ini diduga banyak akal-akalan yang dilakukan para importir dengan mengalihkan kode pos taris (HS) dari baja bukan paduan ke baja paduan untuk mendapatkan tarif bea masuk yang lebih rendah dan pembebasan Bea Masuk Anti Dumping (BAMD).
Peneliti senior Center for Information and Development Studies (CIDES) Rudi Wahyono mengatakan, sejak 2010 telah terjadi peningkatan impor baja paduan. Dia memaparkan, total nilai impor baja paduan pada 2010 tercatat US$ 732,8 juta, naik menjadi US$ 1,05 miliar pada 2011 dan US$ 1,32 miliar di 2012. "Tahun 2013 naik lagi menjadi US$ 1,42 miliar, dengan dominasi impor dari China, Jepang, dan Korea,” kata Rudi dalam rilisnya kepada KONTAN, Rabu (28/8).
Ada potensi kerugian yang cukup besar akibat akal-akalan tersebut. Rudi menghitung dengan jika pada 2011, BM impor baja paduan tercatat US$ 24,8 juta. Bila dihitung dengan BM Baja Karbon harusnya pajak yang masuk negara mencapai US$ 69,95 juta. Pada 2012 BM Baja Paduan tercatat US$ 45,26 juta dari potensi BM Baja Karbon sebesar US$ 114,55 juta. Dan pada tahun 2013 BM Baja Paduan tercatat US$ 55,84 juta dari potensi BM Baja Karbon US$ 133,77 juta.
“Jadi hanya dalam waktu 3 (tiga) tahun saja kita kehilangan potensi pemasukan melalui BM baja paduan sebesar US$ 192 juta lebih,” papar Rudi Wahyono.
Disparitas yang cukup tinggi antara bea masuk baja paduan lainnya dengan tarif BM baja bukan paduan, dan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BAMD) menjadi penyebab melonjaknya impor.
Dengan kondisi itu maka impor baja paduan yang semula dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri, pengembangan industri baja nasional, dan menciptakan persaingan usaha yang sehat tidak akan tercapai.
Menurut Rudi, baja paduan jadi-jadian yang diimpor ke tanah air mengandung unsur baron dengan tingkat kandungan yang sangat minimal atau terbatas, yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur pada Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2012.
Buku itu menyebutkan baja paduan adalah baja yang tidak memenuhi definisi baja stainless, dan menurut beratnya mengandung satu atau lebih unsur, di antaranya baron, aluminium, kromium, kobalt, tembaga, dan lain-lain.
Dia menjelaskan, dengan unsur boron yang terbatas atau tidak memadai maka tidak cukup untuk mampu mengubah sifat mekanik, fisik maupun kimiawi besi/baja sesuai peruntukannya. Baja ini digunakan oleh berbagai sektor industri yang selama ini menggunakan baja bukan paduan (Carbon Steel).
“Saya yakin baja paduan lainnya dengan unsur boron yang terbatas tersebut diimpor untuk mengalihkan Kode HS atau Pos Tarif baja bukan paduan ke baja paduan lainnya,” papar Rudi.
Pengalihankode HS dimaksudkan untuk mendapatkan tarif BM Most Favoured Nation (MFN) yang lebih rendah dan menghindari pengenaan BMAD maupun SNI yang saat ini diberlakukan terhadap impor baja bukan paduan dengan Kode HS tertentu.
Rudi mengakui, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah menunjuk PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia untuk melaksanakan verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor (VPTI) terhadap impor Baja Paduan.
Namun saat ini verifikasi atau penelusuran teknis impor dituangkan dalam bentuk Laporan Survey (LS) yang dilakukan oleh Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia tidak berdampak apa-apa, jika hanya sebatas digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean. Apalagi, kemampuan kedua BUMN itu dalam melakukan VPTI juga dibatasi oleh ketentuan mengenai Baja Paduan yang tercantum dalam mill certificate.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News