Reporter: Rani Nossar | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya di Karawang, Jawa Barat masih membawa suara kontra. Pemerintah diminta menimbang prospek bakal pelabuhan itu supaya tidak mubazir keberadaannya.
Anang Hidayat selaku pelaku industri dari PT GPI Logistics meminta pemerintah menimbang prospek Cilamaya sebagai pelabuhan berkelas internasional.
Menurut dia, membangun pelabuhan berkelas internasional di dekat pusat industri bukan jaminan pelabuhan tersebut diminati dunia pelayaran. Karena itu, menurutnya, pembangunan Pelabuhan Cilmaya harus ditinjau ulang agar nasibnya tidak seperti pelabuhan di Merak, Banten.
"Contoh pelabuhan di Merak, dulu banyak sekali pelayaran dan terakhir hanya dua. Itupun sekarang hanya satu, dan dilayani satu kapal saja. Awalnya memang untuk menarik industri di wilayah Banten, tapi itu tidak berjalan," kata Anang.
Menurutnya, membuat pelabuhan internasional juga harus melihat ketersediaan maskapai pelayaran yang melayani rute internasinal. Pemerintah harus mempertimbangkan hal itu, karena saat ini armada kapal di tanah air yang melayani rute internasional masih minim. Padahal, untuk memiliki satu pelabuhan, keberadaan satu armada yang melayani seluruh rute dunia merupakan satu kemungkinan besar.
"Kalau melihat jalur internasional, kita tidak memiliki satu armada kapal yang memberikan layanan sampai ke seluruh dunia. Dulu mungkin ada, tapi sekarang tidak ada lagi, atau nyaris tidak terdengar. Ada juga Samudra Indonesia, tetapi tidak banyak, " tandasnya.
Apalagi, dunia pelayaran nasional saat ini hanya menjadi agen dari perusahaan pelayaran internasional, serta feeder. Selain itu, pelayaran internasinal juga saat ini lebih memilih rute-rute yang sudah ada, serti Singapura, Malaysia, Taiwan, dan Hongkong yang mempunayi kepastian adanya barang yang akan diangkut setelah menurunkan muatan.
"Dari sisi bisnis, mereka tidak akan terlepas dari rute mana yang akan dia lalui dan berapa banyak dibawa dan diturunkan," kata Anang.
Ia juga berpendapat pelabuhan internasional juga harus melihat komoditas yang dibawa dari luar negeri, dan sebaliknya yang mempunyai karakteristik tersendiri. Menurutnya, jika material mentah (row material) bisa mungkin langsung ke Cilamaya. Namun jika komoditas ritel, tetap akan memambah biaya jika dikirim ke Cilamaya. "Itu beban dari sisi cost ekonominya," kata Anang.
Belum lagi barang yang akan diangkut balik juga harus diperhitungkan setelah menurunkan barang. Kapal rute internasional tidak akan mau singgah di beberapa pelabuhan demi mencari barang yang akan diangkut, mengingat besarnya biaya operasional.
"Pelayaran nasional akan melihat di mana drop kapal, tentu dia akan JAKARTA. Anang Hidayat selaku pelaku industri dari PT GPI Logistics menilai, membangun pelabuhan berkelas internasional di dekat pusat industri bukan jaminan pelabuhan tersebut diminati dunia pelayaran. Karena itu, menurutnya, pembangunan Pelabuhan Cilmaya harus ditinjau ulang agar nasibnya tidak seperti pelabuhan di Merak, Banten.
"Contoh pelabuhan di Merak, dulu banyak sekali pelayaran dan terakhir hanya dua. Itupun sekarang hanya satu, dan dilayani satu kapal saja. Awalnya memang untuk menarik industri di wilayah Banten, tapi itu tidak berjalan," kata Anang.
Menurutnya, membuat pelabuhan internasional juga harus melihat ketersediaan maskapai pelayaran yang melayani rute internasinal. Pemerintah harus mempertimbangkan hal itu, karena saat ini armada kapal di tanah air yang melayani rute internasional masih minim. Padahal, untuk memiliki satu pelabuhan, keberadaan satu armada yang melayani seluruh rute dunia merupakan satu kemungkinan besar.
"Kalau melihat jalur internasional, kita tidak memiliki armada kapal yang memberikan layanan sampai ke seluruh dunia. Dulu mungkin ada, tapi sekarang tidak ada lagi, atau nyaris tidak terdengar. Ada juga Samudra Indonesia, tetapi tidak banyak, " tandasnya.
Apalagi, dunia pelayaran nasional saat ini hanya menjadi agen dari perusahaan pelayaran internasional, serta feeder. Selain itu, pelayaran internasional juga saat ini lebih memilih rute-rute yang sudah ada, seperti Singapura, Malaysia, Taiwan, dan Hongkong yang mempunyai kepastian adanya barang yang akan diangkut setelah menurunkan muatan.
"Dari sisi bisnis, mereka tidak akan terlepas dari rute mana yang akan dilalui dan berapa banyak dibawa dan diturunkan," kata Anang.
Ia juga berpendapat pelabuhan internasional juga harus melihat komoditas yang dibawa dari luar negeri, dan sebaliknya yang mempunyai karakteristik tersendiri. Menurutnya, jika material mentah (row material) bisa mungkin langsung ke Cilamaya. Namun jika komoditas ritel, tetap akan memambah biaya jika dikirim ke Cilamaya. "Itu beban dari sisi cost ekonominya," kata Anang.
Belum lagi barang yang akan diangkut balik juga harus diperhitungkan setelah menurunkan barang. Kapal rute internasional tidak akan mau singgah di beberapa pelabuhan demi mencari barang yang akan diangkut, mengingat besarnya biaya operasional.
"Pelayaran nasional akan melihat di mana drop kapal, tentu dia akan hitung berapa biaya angkut dan berapa biaya bongkar. Mereka tidak akan mampu singgah di Priok, kemudian singgah lagi di Cilamaya, kalau tidak ada muatan yang cukup," jelasnya.
Asal tahu saja, Feasibility Study (FS) pembangunan Cilamaya selesai pada 2011, tapi baru diketahui 2014. Sedangkan tata ruang Karawang baru ditetapkan 2013. Pelabuhan ini ditargetkan beroperasi tahun 2023.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News