Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi Sumber Daya Manusia (ESDM) menyebut Indonesia memiliki potensi energi panas bumi sebesar 23,9 gigawatt (GW), walau kapasitas terpasang saat ini baru mencapai 2.130,7 megawatt (MW). Optimalisasi pengembangan panas bumi perlu dilakukan seiring adanya rencana pemberian insentif untuk pengembang berupa skema cost reimbursement.
Direktur Eksekutif Insititute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyampaikan, secara teoritis, dengan potensi energi panas bumi sebanyak itu, paling tidak Indonesia punya peluang untuk memanfaatkan sumber energi tersebut di kisaran 12 GW--15 GW dalam waktu 10 tahun ke depan.
Namun, angka tersebut relatif sulit tercapai mengingat target kapasitas pembangkit panas bumi sebesar 7 GW yang ditetapkan pemerintah kemungkinan meleset dan mundur dari 2025 menjadi 2030.
Khusus tahun ini, pemerintah masih berupaya mengejar target tambahan kapasitas pembangkit panas bumi sebanyak 140 MW. Di antaranya melalui Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Rantau Dadap sebesar 90 MW, PLTP Sorek Merapi Unit 2 sebesar 45 MW, dan PLTP Sokoria Unit 1 sebesar 5 MW.
Baca Juga: Turunkan emisi 314 juta ton CO2 di 2030, ESDM: Perlu investasi Rp 3.500 triliun
Fabby menilai, PLTP Rantau Dadap menjadi proyek yang paling realistis untuk selesai tepat waktu di akhir tahun nanti di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung. Ini mengingat tahap pengerjaan transmisi dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk PLTP tersebut menunjukkan kemajuan yang cukup baik.
Ia menambahkan, Indonesia perlu belajar dari negara-negara seperti Turki dan Kenya yang mampu mengembangkan panas bumi dengan cepat hanya dalam beberapa tahun. "Kebijakan, skema pengembangan, dan insentifnya perlu dipelajari," imbuhnya, Minggu (23/8).
Lebih lanjut, Fabby menganggap bahwa dampak skema cost reimbursement pengembangan panas bumi yang bakal tertuang di dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang harga jual-beli energi baru terbarukan (EBT) akan sangat bergantung pada rincian dari aturan itu sendiri. Bisa saja pemerintah akan menerbitkan beleid turunan untuk membahas skema tersebut, misalnya lewat peraturan menteri (permen).
Sampai saat ini pun belum ada penjelasan yang gamblang kepada publik mengenai skema cost reimbursement di industri panas bumi.
"Apakah untuk panas bumi rezimnya akan menjadi cost reimbursement contract atau yang selama ini dikenal sebagai cost plus contract, belum diketahui pasti," ungkapnya.
Memang, di atas kertas kehadiran skema cost reimbursement dinilai bisa menjadi angin segar bagi para pelaku industri panas bumi yang selama ini kesulitan berinvestasi di bidang tersebut. Pasalnya, skema ini memungkinkan pemerintah untuk mengganti ongkos eksplorasi lapangan panas bumi. Alhasil, skema ini dapat mengurangi risiko dan biaya eksplorasi tinggi yang kerap menghantui para pengembang panas bumi.
"Bisa saja menarik tapi sekali lagi tergantung pada rincian peraturannya," tandas Fabby.
Baca Juga: Ada Rencana Eksplorasi 20 Wilayah Panas Bumi Mulai Tahun 2021
Mengutip draf Rancangan Perpres Pembelian Tenaga Listrik EBT yang didapatkan Kontan, di pasal 20 ayat 1 disebut bahwa salah satu dukungan pemerintah adalah dengan memberikan insentif fiskal berupa kompensasi biaya eksplorasi panas bumi.
Lebih lanjut, pasal 31 ayat 1 menyebutkan, pemerintah dapat memberikan kompensasi biaya eksplorasi dan pengembangan infrastruktur kepada pemehang Izin Panas Bumi (IPB), pemegang kuasa pengusahaan sumber daya panas bumi dan/atau pemegang kontrak operasi bersama pengusahaan sumber daya panas bumi.
Pasal berikutnya menyatakan pemberian kompensasi berupa sejumlah dana atas kegiatan eksplorasi dan pengembangan infrastruktur diberikan setelah beroperasi secara komersial atau Commercial Operation Date (COD).
Baca Juga: Menteri ESDM soroti pengembangan bioenergi dan energi samudera dalam pemanfaatan EBT
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News