Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Kedua, hilirisasi batubara dalam bentuk underground coal gasification (UCG). Hilirisasi jenis ini sudah dijajaki oleh tiga perusahaan. Yakni:
- PT Kideco Jaya Agung. PKP2B generasi pertama yang merupakan anak usaha PT Indika Energy Tbk (INDY) ini berlokasi di Kalimantan Timur, yang masih dalam tahap pilot plant).
- PT Indominco di Kalimantan Timur,
- PT Medco Energi Mining International (MEMI) dan Phoenix Energy Ltd/ di Kalimantan Utara. Investasi untuk proyek UCG ditaksir 30%-40% lebih rendah dibandingkan gasifikasi dipermukaan. Investasi proyeknya berkisar US$ 600 juta-US$ 800 juta
Ketiga, pembuatan kokas (cokes making). Proyek ini sudah dijajaki oleh PT Megah Energi Khatulistiwa (MEK) dengan produk semi cokes dan coal tar. Nilai investasi diperkirakan US$ 200 juta - US$ 400 juta,
Keempat, peningkatan mutu batubara (coal upgrading) yang sudah dilakukan oleh PT ZIG Resources Technology. Investasi untuk proyek ini sekitar US$ 80 juta-US$ 170 juta. Hilirisasi jenis ini sudah komersial.
Baca Juga: Harga batubara berpeluang menguat, saham Adaro Energy (ADRO) masih menarik dikoleksi
Kelima, pembuatan briket batubara (coal briquetting). Proyek senilai Rp 200 miliar atau sekitar US$ 15 juta ini sudah tahap komersial. Perusahaan yang sudah mengerjakannya adalah PTBA dan PT Thriveni.
Keenam, pencairan batubara (coal liquafaction). Proyek yang diperkirakan membutuhkan investasi sebesar US$ 2 miliar-US$ 4 miliar ini hingga sekarang belum ada perusahaan yang mengusulkan.
Ketujuh, coal slurry/coal water mixture. Proyek dengan investasi sekitar US$ 200 juta - US$ 320 juta ini juga masih belum ada perusahaan yang mengusulkan.
Wafid mengatakan, saat ini prioritas produk hilirisasi batubara ialah berupa DME dan metanol melalui proses gasifikasi batubara. Pasalnya, DME dan methanol bisa mengurangi impor dan mensubstitusi BBM, BBG, dan bahan baku industri kimia dasar.
"Salah satunya adalah LPG yang selama ini diimpor 75%-78%. Cukup memberatkan keuangan negara. Ini diharapkan bisa diatasi dengan DME hasil gasifikasi batubara," ujar Wafid.
Juga untuk kebutuhan metanol di Indonesia yang diperkirakan mencapai 2,1 juta ton pada tahun 2025, yang sekitar 1,6 juta ton diperoleh melalui impor. "Kebutuhan impor ini lah yang kita inginkan untuk bisa diganti dengan hasil hilirisasi batubara," imbuh Wafid.
Kendati begitu, ada sejumlah tantangan dalam merealisasikan proyek ini. Yaitu investasi yang besar, serta harga DME yang harus mampu berkompetisi dengan LPG subsidi.
Untuk itu, pemerintah sedang menyiapkan sejumlah alternatif kebijakan. Seperti penyediaan insentif serta opsi untuk memberikan subsidi bagi DME, jika digunakan untuk kebutuhan rumah tangga.