Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah ingin menggenjot hilirisasi batubara. Sederet regulasi dan insentif sedang dibentangkan untuk dapat merealisasikan Peningkatan Nilai Tambah (PNT) dari komoditas yang satu ini.
Direktur Bina Program Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Muhammad Wafid Agung mengatakan, perkembangan hilirisasi batubara berdasarkan jenis, potensi, perusahaan yang akan mengembangkan, hingga kisaran investasi yang diperlukan untuk setiap proyeknya.
Pertama, untuk pengembangan batubara dengan jenis gasifikasi, sudah ada beberapa perusahaan yang melakukan penjajakan, yakni:
1. PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan produk Dimethyl Ether (DME), Methanol dan Mono Ethylene Glycol (MEG). Proyek yang dikerjakan bersama Pertamina dan Air Product ini berlokasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan.
Membutuhkan feedstock 6,5 juta ton batubara per tahun, rencananya proyek ini menghasilkan proyek 1,4 juta ton DME setiap tahun. Saat ini, proyek yang ditargetkan beroperasi komersial (COD) pada tahun 2025 ini statusnya masih finalisasi kajian dan skema subsidi DME untuk substitusi LPG serta negosiasi skema bisnis proyek.
Baca Juga: DPR: Belum ada solusi tepat atasi timbunan limbah PLTU Paiton
2. Empat perusahaan PKP2B generasi pertama yang akan menjadi IUPK. Mereka adalah:
- PT Kaltim Prima Coal (KPC). Anak perusahaan dari PT Bumi Resources Tbk (BUMI) itu akan membangun proyek hilirisasi dengan produk methanol mencapai 1,8 juta ton per tahun. Membutuhkan feedstock batubara sebanyak 5 juta-6,5 juta ton per tahun, proyek yang berlokasi di Bengalon Kalimantan Timur ini ditargetkan COD pada tahun 2024. Sekarang, sedang dalam proses finalisasi Feasibility Studi (FS) dan skema bisnis.
- PT Arutmin Indonesia. Masih dari BUMI dan Bakrie Group, perusahaan yang baru saja mendapatkan perpanjangan operasi dan IUPK pada 2 November 2020 lalu itu akan menggarap proyek hilirisasi yang menghasilkan synthetic natural gas (SNG), yang saat ini sedang tahap finalisasi kajian (pra FS). Proyek ini ditargetkan COD pada tahun 2026 ini dengan produksi 2,8 juta ton methanol per tahun. Feedstock batubara yang dibutuhkan untuk proyek ini mencapai 6 juta ton per tahun.
- PT Adaro Indonesia. PKP2B generasi pertama dari PT Adaro Energy Tbk (ADRO) ini rencananya akan membangun proyek hilirisasi dengan produk 660.000 ton methanol per tahun. Dengan feedstock batubara sebanyak 1,3 juta ton per tahun, proyek ini ditargetkan selesai pada tahun 2027. Saat ini masih dalam tahap finalisasi kajian (pra-FS)
- PT Berau Coal dengan produk DME/Hydrogen (masih kajian awal).
Menurut Wafid, kisaran investasi untuk proyek gasifikasi batubara tersebut cukup besar, yakni sekitar US$ 1,5 miliar - US$ 3 miliar. Hingga sekarang, belum ada yang komersial.
Kedua, hilirisasi batubara dalam bentuk underground coal gasification (UCG). Hilirisasi jenis ini sudah dijajaki oleh tiga perusahaan. Yakni:
- PT Kideco Jaya Agung. PKP2B generasi pertama yang merupakan anak usaha PT Indika Energy Tbk (INDY) ini berlokasi di Kalimantan Timur, yang masih dalam tahap pilot plant).
- PT Indominco di Kalimantan Timur,
- PT Medco Energi Mining International (MEMI) dan Phoenix Energy Ltd/ di Kalimantan Utara. Investasi untuk proyek UCG ditaksir 30%-40% lebih rendah dibandingkan gasifikasi dipermukaan. Investasi proyeknya berkisar US$ 600 juta-US$ 800 juta
Ketiga, pembuatan kokas (cokes making). Proyek ini sudah dijajaki oleh PT Megah Energi Khatulistiwa (MEK) dengan produk semi cokes dan coal tar. Nilai investasi diperkirakan US$ 200 juta - US$ 400 juta,
Keempat, peningkatan mutu batubara (coal upgrading) yang sudah dilakukan oleh PT ZIG Resources Technology. Investasi untuk proyek ini sekitar US$ 80 juta-US$ 170 juta. Hilirisasi jenis ini sudah komersial.
Baca Juga: Harga batubara berpeluang menguat, saham Adaro Energy (ADRO) masih menarik dikoleksi
Kelima, pembuatan briket batubara (coal briquetting). Proyek senilai Rp 200 miliar atau sekitar US$ 15 juta ini sudah tahap komersial. Perusahaan yang sudah mengerjakannya adalah PTBA dan PT Thriveni.
Keenam, pencairan batubara (coal liquafaction). Proyek yang diperkirakan membutuhkan investasi sebesar US$ 2 miliar-US$ 4 miliar ini hingga sekarang belum ada perusahaan yang mengusulkan.
Ketujuh, coal slurry/coal water mixture. Proyek dengan investasi sekitar US$ 200 juta - US$ 320 juta ini juga masih belum ada perusahaan yang mengusulkan.
Wafid mengatakan, saat ini prioritas produk hilirisasi batubara ialah berupa DME dan metanol melalui proses gasifikasi batubara. Pasalnya, DME dan methanol bisa mengurangi impor dan mensubstitusi BBM, BBG, dan bahan baku industri kimia dasar.
"Salah satunya adalah LPG yang selama ini diimpor 75%-78%. Cukup memberatkan keuangan negara. Ini diharapkan bisa diatasi dengan DME hasil gasifikasi batubara," ujar Wafid.
Juga untuk kebutuhan metanol di Indonesia yang diperkirakan mencapai 2,1 juta ton pada tahun 2025, yang sekitar 1,6 juta ton diperoleh melalui impor. "Kebutuhan impor ini lah yang kita inginkan untuk bisa diganti dengan hasil hilirisasi batubara," imbuh Wafid.
Kendati begitu, ada sejumlah tantangan dalam merealisasikan proyek ini. Yaitu investasi yang besar, serta harga DME yang harus mampu berkompetisi dengan LPG subsidi.
Untuk itu, pemerintah sedang menyiapkan sejumlah alternatif kebijakan. Seperti penyediaan insentif serta opsi untuk memberikan subsidi bagi DME, jika digunakan untuk kebutuhan rumah tangga.
Lebih lanjut Wafid bilang, ada empat skenario penyerapan produk hilirisasi batubara. Pertama, integrasi proyek dengan off taker. Sebagai contoh, proyek gasifikasi batubara yang terintegrasi.
"Juga konversi methanol menjadi DME didekat lokasi pengguna LPG. Misalnya methanol yang diproduksi di Kalimantan dan Sumsel dikonversi menjadi DME di dekat lokasi pengguna LPG," ujar Wafid.
Kedua, melalui substitusi impor dalam negeri. Selain DME untuk subsitusi LPG, ada juga pemenuhan kebutuhan kokas bagi smelter dan pabrik baja dari pabrik cokes making dalam negeri.
Ketiga, melalui program pemerintah mengganti LPG dengan menggunakan briket untuk digunakan oleh UMKM. Keempat, promosi kepada investor baru untuk mengembangkan cadangan batubara kualitas rendah melalui gasiifkasi atau coal upgrading in situ.
Baca Juga: Menteri ESDM memaparkan sejumlah upaya penggunaan bakan bakar rendah emisi
Adapun, hilirisasi batubara telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Minerba, khususnya di pasal 102 terkait kewajiban peningkatan nilai tambah minerba, serta pasal 169 mengenai kewajiban pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara bagi para pemegang IUPK kelanjutan PKP2B.
Kontan.co.id sebelumnya memberitakan, pemerintah mengobral insentif untuk hilirisasi batubara. Insentif diberikan baik dalam bentuk fiskal maupun non-fiskal. Obral insentif tersebut diberikan melalui UU Minerba, serta UU Cipta Kerja alias Omnibus Law.
Insentif non-fiskal diberikan dalam bentuk kemudahan perizinan, yang bisa diperpanjang hingga umur cadangan tambang bagi hilirisasi batubara yang terintegrasi. Sedangkan insentif fiskal berupa pemberian royalti 0%.
Wafid menyampaikan, detail pengaturan mengenai bentuk insentif yang bisa didapatkan untuk jenis hilirisasi tertentu, akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) serta Peraturan Menteri (Permen) ESDM.
"(regulasi terkait insentif hilirisasi) akan dilakukan di PP maupun sampai ke detailnya di Permen. Bagaimana tata cara mendapatkan isnentif, apa saja insentif tertentu untuk jenis hilirisasi tertentu, nanti akan diatur dalam Permen secara detail," pungkas Wafid.
Selanjutnya: Selain insentif, Kementerian ESDM juga petakan potensi hilirisasi batubara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News