Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kementerian Perdagangan mencatat ekspor kakao dan produk olahannya tumbuh 129,86% pada semester I-2025, menjadi yang tertinggi di antara komoditas nonmigas.
Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo) Soetanto Abdullah mengatakan, lonjakan ini lebih banyak dipicu oleh kenaikan harga global sehingga nilai ekspor meningkat.
“Memang dibandingkan periode yang sama tahun 2024 ada sedikit peningkatan volume ekspor, tapi tidak signifikan. Faktor utama kenaikan nilai ekspor adalah harga produk kakao yang meningkat tajam,” ujarnya kepada Kontan, Senin (11/8).
Baca Juga: Tarif Resiprokal dan Biaya Produksi Tinggi Berpotensi Tekan Ekspor Indonesia ke AS
Meski demikian, prospek ekspor kakao Indonesia ke depan dihadapkan pada tantangan baru. Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu pasar terbesar menetapkan tarif impor sebesar 19% untuk produk asal Indonesia, termasuk kakao.
Soetanto menjelaskan, produk utama yang diekspor Indonesia meliputi cocoa butter, cocoa powder, dan cocoa paste.
Kompetitor Indonesia di pasar ini adalah Malaysia, Brasil, Pantai Gading, dan Ghana, yang masing-masing dikenakan tarif 19%, 10%, 15%, dan 15%.
“Dengan tarif tersebut, daya saing Indonesia ke AS bisa kalah dibandingkan negara-negara tersebut. Namun, karena mayoritas eksportir dari Indonesia ke AS adalah perusahaan pengolah kakao (grinders) yang berbasis di AS, penurunan volume ekspor kemungkinan tidak akan terlalu besar,” terangnya.
Untuk menjaga daya saing pasca penerapan tarif, pelaku usaha kakao mengandalkan strategi efisiensi produksi.
Menurut Soetanto, pengurangan biaya produksi dapat membantu menekan harga jual akhir di AS, sehingga tetap lebih rendah dibandingkan produk dari negara pesaing meski terkena tarif lebih tinggi.
Di sisi lain, pemerintah tengah mematangkan kebijakan pungutan ekspor (PE) kakao. Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) menargetkan pungutan ini mulai berlaku pada semester II-2025.
Direktur Utama BPDP, Eddy Abdurrachman, menjelaskan bahwa PE akan digunakan untuk membiayai program pengembangan sektor perkakaoan nasional.
Ia memastikan, kebijakan ini tidak akan menambah beban biaya bagi eksportir, sebab pungutan diambil dari pengalihan sebagian bea keluar (BK) biji kakao yang selama ini sudah berlaku.
Soetanto menegaskan, pengalihan separuh BK menjadi pungutan ekspor tidak akan berdampak negatif pada pelaku usaha.
“Dekaindo sejak lama setuju dengan penerapan BK, dan kami juga mendukung pengalihan sebagian BK menjadi pungutan ekspor,” ujarnya.
Baca Juga: Perjanjian Dagang, Peru Bakal Ekspor Blueberry Ke Indonesia
Selanjutnya: Saham SMGR Menguat 7,66% pada Awal Pekan Senin (11/8), Sentuh Level Rp 2.690
Menarik Dibaca: Perempuan Mendominasi Lakukan Pinjaman Keuangan, Ini Sebabnya Dari Kacamata Psikolog
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News