Reporter: Dadan M. Ramdan, Dian Sari Pertiwi, Pamela Sarnia | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki lahan pertanian yang terbilang luas dengan jumlah keluarga petani yang mencapai 26 juta jiwa sesuai Sensus Pertanian 2013. Dengan luas lahan pertanian saat ini mencapai 1.922,570 kilometer persegi, tentu harus mendapat sokongan ketersediaan alat pertanian yang memadai. Sayang, meski sekelas cangkul yang sudah ratusan tahun diproduksi, alat petani paling sederhana ini nyatanya masih harus didatangkan dari negara luar alias impor.
Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia menyebut, industri cangkul sudah lama menyusut karena produsen lokal kesulitan mendapat mata cangkul. Alhasil, cangkul dari China dan Thailand merajalela. Meskipun harga pacul impor ini murah meriah, tapi kualitasnya jauh dari harapan. Sebagian petani mengenal cangkul impor sebagai cangkul pabrikan karena bentuk permukaannya yang lebih halus dan rapi.
Wowo, petani asal Cibatu, Garut, Jawa Barat bilang, pacul pabrikan dan buatan pandai besi terlihat jelas perbedaannya dari ketebalan dan kehalusan. “Kalau pacul pandai besi lebih berat dan tajam. Tapi harganya lebih mahal ketimbang cangkul bikinan pabrik,” akunya. Kualitas cangkul impor ini memang bervariasi lantaran sebagian masuk dari jalur resmi dan tak sedikit yang diduga masuk dari jalur ilegal.
Nah, salah satu pertimbangan Kementerian Perdagangan memberikan izin impor kepala cangkul kepada PT PPI adalah agar cangkul impor memiliki standar kualitas yang tidak merugikan konsumen yakni petani. Sebagai gambaran pemberian izin impor ini sesuai Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 230 Tahun 1997 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Impornya. Maklum cangkul merupakan salah satu barang yang harus diatur izin impornya oleh pemerintah.
Sekretaris Perusahaan PPI Syailendra menyebut keputusan mengimpor cangkul itupun bukan murni pertimbangan bisnis alias untung rugi lantaran permintaan di dalam negeri sedang berlimpah. “Kami impor cangkul karena mendapat penugasan dari pemerintah,” katanya tanpa merinci siapa yang memberikan penugasan apakah kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, atau instansi lainnya.
PPI mendapat izin impor cangkul tidak cuma dari China, tapi juga dari Vietnam. Tapi BUMN trading ini baru memboyong mata cangkul dari China. Belakangan, kuota impor yang berlaku hingga akhir tahun nanti tidak bisa digunakan. Pasalnya pemerintah membatalkan rencana impor cangkul untuk tahap selanjutnya. “Untuk sementara impor cangkul dihentikan. Kebijakan pemerintahnya seperti itu, PPI hanya menjalankan saja,” katanya.
Ia pun enggan memberikan penjelasan saat ditanya apakah kebijakan pemerintah ini menyebabkan kerugian bagi PT PPI. Ia tak mau memberikan perincian apakah perusahaan ini telah membuat kontrak untuk impor cangkul sesuai dengan kuota yang mereka dapat. Sebaliknya Syailendra menampik anggapan PT PPI mendapat untung besar dengan mendapat penugasan impor cangkul dari China. Tanpa menyebut nilai impor cangkul yang mereka kerjakan. Ia hanya menegaskan PT PPI sebatas melaksanakan kebijakan.
Setelah menghentikan impor, pemerintah menugaskan kepada tiga Badan Usaha Milik Negara yakni PT Krakatau Steel Tbk, PT Boma Bisma Indra (BBI), dan PT PPI untuk memproduksi dan mendistribusikan pacul berkualitas bagi petani. Pemerintah memberikan target produksi pacul sebanyak 10 juta unit kepada tiga perusahaan ini. Direktur Utama PT Krakatau Steel Sukandar menyatakan, untuk memproduksi pacul sebanyak itu butuh bahan baku baja high carbon steel sekitar 15.000 ton. Setiap potong cangkul membutuhkan baja sebanyak 1,5 kilogram baja.
Untuk memenuhi kebutuhan ini, Krakatau Steel saat ini sedang melakukan ujicoba produksi high carbon steel di pabrik mereka di Pasuruan. “Kami harapkan produksi sudah bisa terealisasi dalam waktu dekat,” ujarnya tanpa memastikan. Sukandar menyebut, Krakatau sejak 90-an telah memasok bahan baku baja untuk produksi cangkul kepada PT BII. Namun ia mengakui jumlahnya tidak banyak.
Sukandar juga menampik anggapan minimnya produksi cangkul di dalam negeri akibat kesulitan bahan baku baja, sehingga pilihannya pemerintah harus membuka keran impor. “Sebenarnya bahan baku cangkul itu, banyak, bisa memakai plat. Baja jenis ini ada banyak di pasaran. Tapi saya tidak ingin menanggapi komentar orang lain,” kilah Sukandar.
Baik Krakatau Steel, PT BBI maupun PT PPI enggan memerinci apa keuntungan yang akan mereka dapat dengan menggarap penugasan pemerintah memproduksi cangkul di dalam negeri ini. Termasuk apakah pemerintah memberikan insentif dan subsidi untuk proses produksi dan distribusi ini. Merekapun tak berani memasang target kapan hasil produksi cangkul penugasan pemerintah bisa dijual kepada petani.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News