Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Di Bulan Juli lalu, seorang pejabat Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan bahwa potensi ekspor sayuran Indonesia pada tahun 2010 bisa mencapai US$ 70 juta per bulan. Namun, di akhir tahun ini, keyakinan itu sepertinya meleset sangat jauh. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai ekspor sayuran periode Januari-Oktober 2010 hanya mencapai US$ 64.436.013, turun 3,34% dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 66.662.276.
Benny A. Kusdini, Ketua Harian Dewan Hortikultura Indonesia, menilai turunnya ekspor sayuran Indonesia tahun ini akibat pemerintah menganaktirikan sektor hortikultura. Dalam pandangannya, pemerintah terlalu mencurahkan perhatiannya kepada tiga sektor seperti Crude Palm Oil (CPO), kakao dan karet. Akibatnya, ketiga sektor itu tumbuh cukup pesat baik dari sisi produksi maupun nilai dan volume ekspor. Tapi, pada sisi lain sektor hortikultura terutama sayuran terus mengalami penurunan produksi, volume dan besaran ekspor.
Pernyataan ini bukan isapan jempol belaka. Masih dari data BPS, penurunan ekspor sayuran mala terlihat lebih layu jika dilihat dari sisi volumenya. Asal tahu saja, Januari-Oktober tahun ini Indonesia hanya mampu mengekspor 155.059 ton sayuran. Jumlah ini turun 18,09% dari periode Januari-Oktober 2009 yang menyentuh 189.313 ton.
Kafi Kurnia, Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Importir Buah dan Sayuran Indonesia (Asbisindo), menilai turunnya volume ekspor sayuran ini akibat faktor cuaca ekstrem sepanjang tahun. Menurutnya, cuaca tahun susah ditebak, kadang hujan terus-menerus terkadang panas. "Ini tidak baik buat produksi sayuran", kata Kafi.
Tapi Benny memiliki pandangan berbeda dengan Kafi. Pada satu sisi, cuaca memang menjadi penyebab turunnya produksi sayuran tahun ini. Namun, ia menambahkan faktor kurangnya perhatian pemerintah terhadap petani sayuran menjadi penyebab utama turunnya produksi sayuran. "Kalau cuaca pasti ada cara untuk mengatasinya", kata Benny.
Benny mencontohkan anggaran subsidi untuk sektor pangan tahun 2010 hanya Rp 14 triliun dari subsidi keseluruhan yang mencapai Rp 201 triliun. Jumlah ini masih kurang ideal untuk membantu petani dalam meningkatkan kualitas dan kapasitas produksinya. Apalagi, realisasi dari subsidi itu tidak seluruhnya dirasakan para petani.
Kondisi ini membuat petani sayuran tidak bisa berbuat banyak untuk menggenjot produksinya. Para petani tidak memiliki cukup dana untuk membeli bibit berkualitas. Selama ini, petani sayuran hanya mengandalkan bibit dari hasil panen terdahulu, bukan benar-benar bibit berkualitas. Kondisi ini membuat kapasitas produksi sayuran menurun, sekaligus kualitasnya pun fluktuatif.
Para petani juga kesulitan untuk mengatasi serangan virus yang menyerang sayurannya, seperti virus kuning. Virus yang ditularkan lewat serangga vektor kutu kebul (Bemicia Tabaci) ini cukup ganas karena membuat sayuran cepat layu. Benny mengaku sudah melaporkan masalah ini kepada pemerintah, tapi hingga kini belum ada tindak lanjut yang memudahkan petani untuk mengatasi virus ini.
Serangan virus dan hama seperti ini sebenarnya bisa diantisipasi oleh petani. Para petani dapat menggunakan teknik menanam glasshouse alias menutupi sayurannya dengan plastik khusus. Selain itu, para petani juga dapat secara rutin menyemprotkan pestisida agar sayuran tahan dari serangan virus.
Sayangnya, banyak petani yang tidak memiliki biaya untuk melakukan itu. Benny sangat berharap pemerintah mau menggelontorkan lebih banyak subsidi kepada para petani, sehingga petani dapat mengatasi problem-problem seperti itu. Menurutnya, pemerintah tidak akan rugi dengan menggelontorkan lebih banyak subsidi kepada petani sayuran. Karena cara ini akan memudahkan petani untuk menggenjot produksi dan kualitas sayurannya. "Ujung-ujungnya ekspor sayuran kita akan meningkat", tanda Benny kepada KONTAN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News