Reporter: Handoyo, Maria Elga Ratri | Editor: Fitri Arifenie
JAKARTA. Revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 26/2007 tentang perizinan usaha perkebunan, akan mendorong perusahaaan perkebunan privat untuk melantai ke bursa.
Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian mengatakan, status sebagai perusahaan perkebunan membuat perusahaan makin transparan (terbuka) dalam pendataan dan pajak. "Kita ambil hikmah positifnya," kata Gamal kepada KONTAN, Jumat (21/6).
Seperti diketahui revisi permentan tersebut mengatur pembatasan luas areal lahan kebun 100.000 hektare. Namun, pembatasan areal lahan kebun tersebut tidak berlaku untuk perusahaan perkebunan terbuka (go public), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah dan Koperasi. "Ini dilakukan supaya tidak menganggu ekspansi bisnis perusahaan terbuka," tambah Gamal.
Krisna Ghozali, Wakil Direktur PT Gozco Plantation Tbk mengatakan, beleid tersebut membuka peluang perusahaan privat berbondong-bondong menjadi perusahaan terbuka. Tujuannya agar mereka terbebas dari aturan ketika ingin melakukan perluasan lahan lebih dari 100.000 hektare. "Ujung-ujungnya banyak perusahaan yang akan melakukan Inital Public Offering (IPO) kalau mau punya lahan lebih," kata Krisna.
Togar Sitanggang, Senior Manager PT Musim Mas mengatakan mengatakan revisi Permentan ini bukan menjadi satu-satunya alasan bagi perusahaan untuk merubah statusnya dari private menjadi go public. "Go public akan tetap menjadi opsi pendanaan, kapan akan dilakukan itu tergantung kepada kebutuhan," kata Togar.
Melihat data Bursa Efek Indonesia (BEI), pada semester pertama tahun ini, setidaknya ada tiga perusahaan perkebunan yang menawarkan sahamnya ke lantai bursa. Jumlah ini masih lebih banyak dibandingkan tahun lalu. Sepanjang 2012, perusahaan perkebunan yang melantai di bursa hanya PT Provident Agro Tbk, pada 8 Oktober.
Adapun perusahaan yang mulai mendaftarkan sahamnya di bursa pada tahun ini adalah PT Multi Agro Gemilang Plantation Tbk (MAGP), PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT), dan PT Dharma Satya Nusantara (DSNG).
Kepemilikan saham pabrik
Selain membatasi kepemilikan lahan, Permentan kebun itu juga mewajibkan pengusaha untuk melepas saham (divestasi) pabrik pengolahan sawit kepada petani. Menurut Krisna, hal ini sulit untuk dilakukan. "Tidak siap, bukan hanya masalah permodalan saja tetapi untuk jangka panjang," kata Krisna.
Selama ini, bila panenan sawit yang dihasilkan oleh petani tidak bagus, maka akan ada pemotongan harga. Nah, bila petani memiliki saham di pabrik pengolahan minyak sawit (PKS) tersebut maka hal itu tidak akan terjadi.
Di sisi lain, penerapan aturan kepemilikan ini dikeluarkan tidak semata untuk mendapatkan kualitas bahan baku yang baik. Derom Bangun, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) juga menyatakan keberatannya terhadap pasal tersebut. Ketentuan itu akan berdampak kepada produksi minyak sawit mentah atawa Crude Palm Oil (CPO). Sebab, dengan ketentuan tersebut, tidak akan banyak perusahaan yang membangun pabrik kelapa sawit baru.
Menurut Derom, sebaiknya petani memang diberi kesempatan untuk memiliki saham pabrik kelapa sawit, tetapi jumlahnya tidak mencapai 51% atau lebih. "Sebab dari sisi permodalan saja kita tahu harga pabrik itu cukup tinggi," ujarnya. Setidaknya, kata Derom, sebuah pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton saja sudah bernilai di atas Rp 80 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News