Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pelaku usaha batubara masih terhempit dilema dalam memenuhi pasokan ke dalam negeri. Pasalnya, kemampuan pasar domestik untuk menyerap batubara masih minim. Tapi di sisi lain, kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25% dari produksi tetap harus ditunaikan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, saat ini pelaku usaha tengah berlomba untuk memasok batubara ke dalam negeri. Hal ini lantaran faktor tekanan pasar global serta harga batubara yang terus melanjutkan tren penurunan. "Namun kenyataannya memasok ke pasar dalam negeri itu tidak mudah," kata Hendra ke Kontan.co.id, Rabu (11/9).
Baca Juga: PLN ingin harga gas dipatok, begini respons Plt Dirjen Migas...
Hendra menjelaskan, sekitar 80% pasokan batubara ke dalam negeri diserap untuk kebutuhan kelistrikan. Namun, sekitar 90% kebutuhan PT PLN (Persero) sudah terkontrak, dan hanya dipenuhi oleh delapan perusahaan batubara.
Hendra menyebut, kontrak tersebut memang beralasan. Sebab, hal itu dilakukan untuk menjamin pasokan batubara, ketika wajib DMO 25% dan harga khusus sebesar US$ 70 per ton belum diberlakukan.
Sebelum kebijakan itu berlaku sejak Maret tahun lalu, Hendra menyebut bahwa PLN hanya berkontrak dengan perusahaan tertentu saja dengan menyesuaikan jenis kalori batubara yang sesuai, dan kontrak pun disepakati berdasarkan harga pasar.
Baca Juga: Raih kontrak baru Rp 2,1 triliun, PTPP garap proyek PLTU
"Itu memang untuk jaminan pasokan, kebetulan perusahaan tersebut punya track record dan cadangan yang besar. Jadi sebelum (DMO 25% dan harga khusus) itu mereka sudah berkontrak," terang Hendra.
Adapun, berdasarkan data dari APBI, delapan perusahaan yang memasok sekitar 90% kebutuhan PLN pada tahun lalu adalah PTBA dengan porsi sebesar 28%, KPC (18%), Adaro (17%), Arutmin (14%), Kideco (11%), Berau (5%), Titan (5%), dan ITMG (2%).
Alhasil, ceruk untuk memasok batubara ke PLN hanya tersisa sekitar 10%. Hendra bilang, kondisi itu diperparah dengan serapan batubara dalam negeri masih stagnan lantaran industri penyerap batubara seperti semen dan tekstil tengah tertekan. "Industri domestik kita lagi melambat. Tekstil dan semen lagi melemah, jadi serapan nggak meningkat," kata Hendra.
Baca Juga: Tak hanya batubara, PLN juga minta ada harga patokan gas untuk listrik
Sehingga, Hendra pun mengatakan bahwa pihaknya meminta supaya pemerintah bisa mengkaji kembali kebijakan DMO terkait dengan harga patokan untuk kelistrikan sebesar US$ 70 per ton, serta besaran DMO yang dipatok 25% dari produksi.
Menurut Hendra, harga patokan sudah tak lagi relevan lantaran Harga Batubara Acuan (HBA) sudah berapa di bawah US$ 70 per ton. Terakhir, HBA September tercatat tiarap di angka US$ 65,79 per ton.
Begitu pun dengan besaran persentase DMO. Menurut Hendra, dengan produksi batubara pada tahun ini yang diprediksi akan kembali melebihi target awal, besaran DMO 25% juga tak relevan. "Tingkat produksi meningkat, sementara pembaginya, serapan domestik nngak bertambah, jadi besaran DMO mungkin lebih kecil (dari 25%)," ujar Hendra.
Memang, pemerintah memberikan ruang bagi perusahaan yang tidak mendapatkan pasar dengan skema transfer kuota. Melalui skema transfer kuota, perusahaan yang belum memenuhi kewajiban DMO 25% bisa membeli kuota kepada perusahaan yang pasokan DMO-nya sudah melebihi 25%.
Baca Juga: DPR mendukung penuh BKPM jadi Kementerian Investasi
Namun, Hendra menegaskan bahwa skema tersebut masih terganjal sejumlah kendala. Selain karena jumlah perusahaan dan jumlah kuota yang bisa ditransfer tidak berimbang, tren penurunan harga membuat skema transfer kuota menjadi lebih sulit dilakukan.
Apalagi, tidak ada patokan harga yang jelas, karena berdasarkan business to business. "Jadi transfer kuota terhambat. Bagaimana mau beli (kuota), harga aja terus turun," ungkap Hendra.
Kondisi tersebut menjadi tantangan serius bagi pemerintah yang ingin menambah porsi penyerapan batubara di dalam negeri. Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan bahwa pemerintah mulai memprioritaskan pasokan batubara ke dalam negeri.
Baca Juga: Panas lagi, PLN & produsen batubara kembali berseteru soal harga patokan DMO
"Lima tahun yang lalu, kami lebih suka mengekspor batubara untuk mendapatkan pajak, tapi sekarang, secara perlahan namun pasti, kami mulai memprioritaskan kebutuhan domestik" terang Bambang beberapa waktu lalu.
Ia mengklaim, sejak tahun 2011 hingga tahun 2017, pasar domestik terus meningkat. Bambang bilang, serapan domestik telah bertumbuh sekitar 27% setiap tahunnya.
Pada tahun ini, Bambang mengatakan bahwa pihaknya menargetkan pertumbuhan untuk pasar domestik sebanyak 60%. "Pada tahun 2019 kami berharap untuk pasar domestik meningkat sebesar 60%," ujarnya.
Baca Juga: Tahun 2020, Kementerian ESDM bangun Politeknik Energi di Prabumulih
Adapun, pada tahun lalu, realisasi serapan batubara domestik hanya menyentuh angka 115,09 juta ton atau meleset dari target yang ditetapkan sebesar 121 juta ton.
Dari realisasi DMO sebesar 115,09 juta ton itu, sebesar 91,14 juta ton diserap untuk kebutuhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), sebanyak 1,75 juta ton untuk industri metalurgi, sebesar 22,18 juta ton untuk industri pupuk, semen, tekstik dan kertas, serta 0,01 juta ton digunakan untuk briket.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News