kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Dinilai sebagai tulang punggung kas negara, pemerintah diminta lindungi IHT


Sabtu, 30 Mei 2020 / 13:29 WIB
Dinilai sebagai tulang punggung kas negara, pemerintah diminta lindungi IHT
ILUSTRASI. Pekerja memproduksi rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) secara manual di pabrik rokok PT Praoe Lajar yang menempati bekas kantor perusahaan listrik swasta Belanda NV Maintz & Co, di kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Senin (19/8/2019). Kementerian Per


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri Hasil Tembakau (IHT) disebut sebagai salah satu sektor strategis domestik yang terus memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Sumbangan sektor ini salah satunya berasal dari penerimaan cukai dan pajak produk rokok yang tiap tahunnya menyetor ratusan triliun rupiah kepada negara.
 
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan, penerimaan negara dari bea dan cukai naik 16,17%. Realisasi hingga akhir April 2020 mencapai Rp 57,66 triliun atau 24,65% dari APBN sesuai Perpres 54/2020. Realisasi dari penerimaan dari Ditjen Bea Cukai adalah Rp 57,66 triliun. Penerimaannya tumbuh 16,17 persen. Ini 24,65% dari target APBN sesuai Perpres 54/2020. Dilansir dari laman Setkab, Minggu (24/5), penerimaan cukai yang meningkat disumbang oleh penerimaan cukai hasil tembakau sebesar 25,08%.

Baca Juga: Pendapatan Tunas Baru Lampung (TLBA) tumbuh 27,25% di kuartal I 2020
 
Kendati demikian, pemerintah sampai saat ini masih memperlakukan keberadaan industri hasil tembakau (IHT) secara sepihak. Pasalnya, banyak regulasi yang dihasilkan oleh pemerintah yang justru mematikan keberlangsungan IHT. Mulai dari kenaikan cukai tahun 2019 dengan kenaikan cukai dan HJE yang sangat tinggi melalui PMK 152/2019, rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012, penerapan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang tidak sesuai dengan PP 109 dimana Pemerintah daerah menetapkan pelarangan pemajangan bungkus rokok, dan masih banyak regulasi lainnya.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Sudarto mengatakan kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) merupakan agenda tahunan yang 'mencekik' IHT.

Beleid tersebut berimbas pada pengurangan produksi, khususnya industri sigaret kretek tangan (SKT) dan berdampak pada efisiensi tenaga kerja. Merujuk data FSP RTMM-SPSI, selama 10 tahun terakhir, ada 63 ribu pekerja rokok yang terpaksa kehilangan pekerjaan. Jumlah industri pun berkurang dari 4.700 perusahaan menjadi sekitar 700 di 2019.

Sudarto menegaskan penyesuaian tarif cukai dan HJE berdasarkan target penerimaan dalam APBN/APBN menyulitkan kalangan industri dalam merencanakan produksi dan penetapan harga jual produk. “Kami setiap tahun selalu mendorong agar kenaikannya moderat dan kalau memungkinkan berdasarkan nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi," tegas Sudarto dalam keterangannya, Sabtu (30/5).

Baca Juga: Kinerja grup Salim masih solid, hanya saham INDF yang menguat sebulan terakhir

Sudarto juga mengkritisi rencana Pemerintah merevisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang melebihi peraturan di atasnya yaitu PP 109.



TERBARU

[X]
×