Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, pihaknya mendukung sepenuhnya langkah Pemerintah atas perlakuan diskriminasi Uni Eropa.
Sebagai informasi, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri bersama kementerian/lembaga terkait serta para pemangku kepentingan kelapa sawit dan biofuel Indonesia menggelar rapat konsolidasi persiapan konsultasi mengenai gugatan Pemerintah Indonesia atas kebijakan RED II dan DR Uni Eropa.
Gugatan dilayangkan Pemerintah Indonesia ke Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization/WTO) karena kebijakan tersebut dinilai mendiskriminasi produk kelapa sawit atau biofuel Indonesia.
Melalui kebijakan RED II, Uni Eropa mewajibkan penggunaan bahan bakar di Uni Eropa berasal dari energi yang dapat diperbarui mulai tahun 2020 hingga tahun 2030. Selanjutnya, DR yang merupakan aturan pelaksana RED II memasukkan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.
Baca Juga: Indonesia dan Uni Eropa Adu Kuat Masalah Diskriminasi Sawit dan Ekspor Nikel
Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan Uni Eropa, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor minyak kelapa sawit dan biofuel/Fatty Acid Methyl Ester (FAME) Indonesia ke Uni Eropa dalam lima tahun terakhir (2014—2018) menunjukkan tren negatif atau menurun 6,93%.
Pada periode Januari–Oktober 2019, nilai ekspor minyak kelapa sawit dan FAME ke Uni Eropa tercatat sebesar US$ 957 juta atau menurun 8,63 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2018 sebesar USD 1,07 miliar.
Sementara, pada periode Januari–Oktober 2019, nilai ekspor minyak kelapa sawit dan FAME ke dunia juga tercatat melemah 9,33 persen dari US$ 3,71 miliar menjadi US$ 3,36 miliar year-on-year (YoY).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News