kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,70   -13,79   -1.49%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dulu pengacara, kini raja bisnis wisata


Minggu, 14 April 2013 / 09:29 WIB
ILUSTRASI. Pasca merger, Indosat (ISAT)-Tri wajib mengembalikan pita frekuensi 5Mhz ke negara.


Sumber: Kontan 14/4/2013 | Editor: Havid Vebri

Di bisnis pariwisata, Panorama Group merupakan pemain besar. Memiliki lebih dari 30 anak usaha, perusahaan yang berdiri 40 tahun silam ini telah merambah berbagai lini bisnis pariwisata, yaitu leisure atau tour, meeting, incentive, conference, and exhibition (MICE), transportasi, hospitality, dan inbound, yakni mendatangkan wisatawan asing ke dalam negeri

Tentu tak banyak yang tahu jika perusahaan yang didirikan empat puluh tahun silam ini awalnya hanya perusahaan kecil yang bermarkas di garasi rumah keluarga Tirtawisata.  "Panorama dirintis oleh ayah saya Adhi Tirtawisata," kata Budi Tirtawisata, CEO Panorama Group, saat berbincang dengan KONTAN di kantornya.

Budi merupakan putra sulung Adhi Tirtawisata yang menjadi generasi kedua pemegang kendali usaha Panorama Group. Nama belakang Tirtawisata sebenarnya bukan nama keluarga. Aslinya, nama keluarga Adhi adalah Tirtarahardja.

Ia memilih nama belakang Tirtawisata karena dianggap cocok dengan panggilan hatinya di dunia pariwisata. Adhi jatuh cinta dengan dunia pariwisata sejak kuliah di Universitas Indonesia (UI).

Kendati demikian, bidang studi yang digelutinya bukan pariwisata. Melainkan Fakultas Hukum. Kebetulan saat kuliah, ia banyak berkecimpung di kegiatan Kepanduan (sekarang dikenal dengan Pramuka).

Dari kepanduan itulah, Adhi menemukan kecintaannya dalam mengatur perjalanan kemping atau sekadar liburan. Pada tahun terakhir di bangku kuliah, Adhi pun bergabung dengan PT IASA Tours & Travel.

Namun, ia tidak lama bergabung di perusahaan itu. "Latar belakang pendidikan beliau adalah sarjana hukum, jadi selama beberapa tahun beliau menjalani profesi sebagai pengacara," tutur Budi.

Berprofesi sebagai lawyer ternyata tak mampu memadamkan kecintaannya akan dunia pariwisata. Maka, Adhi pun memutuskan berhenti sebagai pengacara dan kembali ke dunia pariwisata.

Kali ini ia mendirikan usaha sendiri. Perusahaan travel pertamanya adalah Djaja Travel. Sayangnya, perusahaan ini tidak bertahan lama. Adhi terpaksa kembali menjadi karyawan di sebuah perusahaan travel.

Adhi tidak patah arang kendati sempat gagal membesarkan usaha sendiri. Pada 1967, ia kembali mendirikan perusahaan dengan nama CV Batemuri. Perusahaan  ini tidak hanya berjualan tiket, tapi juga mengadakan tur kota. Tidak cukup di situ, pada 1972 Adhi membangun perusahaan baru bernama PT Regina Alta Tours.

Selanjutnya, Adhi fokus mengurus PT Regina Alta Tours ini. Sempat berganti nama menjadi PT Regina Alta Panorama Tours, akhirnya pada 1995 perusahaannya resmi menyandang nama

PT Panorama Tours. "Karena masih muda, jiwa petualang beliau masih sangat tinggi sehingga sangat semangat menghadapi jatuh bangun
di industri pariwisata," kisah Budi.

Di masa-masa awal, kantor Panorama Group menempati garasi rumahnya di Petojo, Jakarta Pusat. Fasilitas pendukung usahanya juga masih sangat sederhana.

Untuk moda transportasi, Adhi masih menggunakan armada becak. Dari becak ini, ia juga mendapat ide melengkapi usahanya dengan armada bus. "Waktu itu saya masih kecil, setiap pagi melihat kesibukan Bapak menjemput tamu di bandara bawa papan nama, mengantar tiket, dan mengadakan tur kota," kata Budi.

Selama membesarkan usahanya, Adhi sempat beberapa kali mengalami jatuh bangun. Contohnya pada tahun 1991. Saat pemerintah mengadakan program Visit Indonesia Year dalam rangka tahun pariwisata Indonesia, Adhi menyiapkan enam bis pariwisata untuk menjemput tamu-tamu dari luar negeri.  Kebanyakan tamu tersebut dari Belanda.

Malang tak dapat ditolak, pecahlah Perang Teluk. Tamu-tamu wisatawan asing batal datang ke Indonesia. Maklum, dari Eropa menuju Indonesia harus melewati Timur Tengah.  "Itu salah satu dari sekian banyak masa-masa susah, sudah investasi tapi hasilnya tidak sesuai," kenang Budi.
Pelan tapi pasti, Panorama Group berusaha bangkit. Namun, cobaan tidak berhenti menghampiri. Tahun 1998 kembali masa suram menyelimuti bisnis pariwisata. Turis takut datang ke Indonesia karena kerusuhan terjadi di sejumlah kota.

Meski demikian, kata Budi, dunia pariwisata memiliki daya tahan tinggi. Diibaratkan bambu, jika dunia pariwisata mengalami kejatuhan, dia punya kemampuan untuk bangkit lagi.

Bahkan, Panorama Group memutuskan melantai di bursa pada 2001. Memasuki tahun 2004, situasi menunjukkan titik terang. Pemerintah semakin menyadari potensi dunia pariwisata.

Upaya membangun infrastruktur terlihat jelas, meski masih jauh dari yang diharapkan. Pada tahun 2004 itu juga, Budi bergabung dengan Panorama Group.

Ia langsung fokus di sektor keuangan. Selain itu, Budi banyak melakukan konsolidasi dan pengembangan pilar hospitality. Lalu di mana Budi sebelum tahun 2004? Ia menjalani pendidikan Business Marketing and Economics di California State University Sacramento. Lulus pada 1986, Budi bekerja di salah satu bank dalam negeri hingga mencapai posisi direktur.

Sama seperti ayahanda yang tidak bisa mengingkari panggilan hati, Budi pun demikian. Panggilan hati jualah yang membuat Budi memutuskan berkiprah di bisnis pariwisata.

Kemudian, tahun 2009, Budi terpilih menjadi Presiden Direktur menggantikan sang ayah. Budi membantah jika dirinya meraih posisi puncak lantaran putra sulung keluarga Tirtawisata.

Ia mengaku, dalam mengembangkan usaha, keluarganya menjunjung tinggi profesionalisme. "Adhi punya empat putra, tapi tidak pernah membicarakan tentang putra mahkota. Saya pikir itu bukan hal yang penting. Biarlah yang terbaik memimpin pada waktunya.Pada saat-saat ini saya yang dianggap yang layak," terangnya.

Latar belakang bankir tentu memengaruhi gaya kepemimpinan Budi. Ia mengaku, cukup tegas terhadap angka. Budi juga meyakini manajemen perusahaan harus berdasarkan nilai-nilai dan kebudayaan perusahaan.

Panorama Group sendiri memiliki moto usaha yang dinamakan SPIRIT, yakni synergy, pursuit of excellence, intergrity, reliability, innovative & proactive, dan truly care. Budaya SPIRIT ini yang mengantarkan Panorama mengembangkan lima pilar bisnis secara paralel.

Menjelang usia ke-40, Budi menata ulang Panorama Group pada 2011. Bersama dengan 30 orang di jajaran direksi, Budi merombak visi dan misi perusahaan pariwisata ini. Melalui lima pilar bisnis, Budi dengan percaya diri mengatakan Panorama Group menjadi satu-satunya perusahaan pariwisata yang terintegrasi.

Bukanlah sesuatu yang berlebihan untuk perusahaan yang memiliki lebih dari 30 lini bisnis. Wajar saja jika akhirnya Budi dan Panoramanian–sebutan untuk anggota Panorama Group, bersepakat menjadikan Panorama menjadi milik dunia dan sebaliknya. 

"Kalau perusahaan asing saja berbondong-bondong masuk ke Indonesia, tidak ada alasan perusahaan dalam negeri untuk tidak berangan-angan ke luar negeri," tandasnya.

Budi mengatakan, tahun ini merupakan momentum yang tepat bagi dunia pariwisata. Banyak faktor yang mendukung bisnis plesiran ini. Seiring terus meningkatnya pertumbuhan ekonomi, wisata bukan lagi barang mewah.

Pria 48 tahun ini bilang, Asia Pasifik kini tengah menjadi pusat perhatian dunia, terutama China dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Lalu disusul India. Namun, negeri Taj Mahal itu boleh dibilang tidak punya kekayaan alam seperti Indonesia.

Selanjutnya, mata dunia akan tertuju pada Indonesia. Pada saat krisis ekonomi tahun 2008, Indonesia bisa bertahan. Banyak perusahaan asing yang lantas tertarik berbisnis di negara ini.

Panorama Group tidak mau lengah memanfaatkan momentum. Budi menjelaskan, bisnis pariwisata bukanlah rocket science yang demikian rumitnya. Pariwisata berangkat dari keinginan melayani tanpa mengabaikan nilai-nilai perusahaan.

Meski demikian, Budi mengakui bahwa Indonesia masih terkendala infrastruktur, konektivitas, dan sumber daya manusia. Tiga hal ini harus dibenahi agar tidak menghalangi laju dunia pariwisata.

Budi menyadari membangun infrastruktur memang tidak mudah. Karena krisis 1998, Indonesia kehilangan sekitar tujuh tahun tanpa pembangunan infrastruktur. "Akan tetapi, infrastruktur bukannya diabaikan. Buktinya, bandara mulai direvitalisasi," katanya.

Ia juga mengungkapkan fakta dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Tahun lalu, kunjungan wisatawan asing ke Indonesia mencapai 8 juta orang. Tahun ini, targetnya 9 juta turis asing pelesir ke Indonesia.

Bahkan, pada tahun 2025, targetnya 20 juta turis asing dan 400 juta turis domestik pelesiran di Indonesia. Berkaca pada fakta inilah ekspansi Panorama Group terus berlanjut. Tahun lalu, pendapatan Panorama Group mencapai Rp 2,5 triliun. Tahun ini, Budi menargetkan pertumbuhan pendapatan Panorama berkisar 15%-20%.

Untuk itu, kelima pilar bisnis akan terus dikembangkan. Di pilar hospitality, Panorama baru saja mengumumkan joint venture dengan Carlson Rezidor Hotel Group pada Maret lalu.  "Rencananya, dalam lima tahun mendatang kami akan membangun 20 Radisson and Park Inn by Radisson Hotels," ucap dia.
Kerja sama juga dilakukan untuk mengembangkan pilar MICE. Tahun lalu, bersama dengan perusahaan asal Singapura, Reed Elsevier Pte Ltd, Panorama Group membentuk perusahaan patungan bernama PT Reed Panorama Exhibition.

Panorama Group juga mengembangkan lini bisnis di bidang e-commerce melalui rajakamar.com dan bookpanorama.com. Ia melihat bisnis e-commerce akan terus berkembang seiring dengan semakin kencangnya penetrasi internet di Indonesia.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×