kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.938.000   14.000   0,73%
  • USD/IDR 16.280   -10,00   -0,06%
  • IDX 7.115   45,64   0,65%
  • KOMPAS100 1.037   7,51   0,73%
  • LQ45 801   4,55   0,57%
  • ISSI 229   2,18   0,96%
  • IDX30 417   1,15   0,28%
  • IDXHIDIV20 489   1,31   0,27%
  • IDX80 117   0,62   0,54%
  • IDXV30 119   -0,32   -0,27%
  • IDXQ30 135   -0,11   -0,08%

Efek Domino Penurunan Harga Nikel Global: Smelter Berhenti Operasi Hingga Potensi PHK


Selasa, 03 Juni 2025 / 18:42 WIB
Efek Domino Penurunan Harga Nikel Global: Smelter Berhenti Operasi Hingga Potensi PHK
ILUSTRASI. Fasilitas pengolahan nikel milik Harita Nickel di Pulau Obi


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan harga nikel global sejak awal tahun ini ternyata memiliki pengaruh jangka panjang pada keberlangsungan industri pemurnian atau smelter nikel dalam negeri.

Asal tahu saja, awal 2025, menurut data S&P Global, harga nikel dibuka dengan nilai US$ 15.078 per metrik ton, yang merupakan titik terendah sejak 2020.

Adapun, sepanjang 2024, harga rata-rata tercatat sebesar US$ 15.328 per metrik ton, atau turun 7,7% dibandingkan harga tahun sebelumnya.

Melansir dari Trading economic, per hari ini Selasa (03/06) harga nikel menyentuh angka US$ 15.390 per metrik ton, angka ini naik 0,94% dibandingkan harga per hari Senin (02/06).

Meskipun kalau dibandingkan secara month to month (mom) harga ini masih turun 0,78% atau secara year to year  (yoy) telah turun 19,29%.

Baca Juga: Sering Ditekan Global Soal Lingkungan, Industri Nikel Bikin Standarisasi Global

Terkait adanya penurunan harga nikel global, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengakui bahwa adanya koreksi harga nikel yang cukup tajam ini, tentunya hal berdampak besar bagi perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan dan pemurnian nikel atau smelter.

Di satu sisi, Sudirman bilang biaya produksi nikel saat ini mengalami kenaikan akibat faktor global, serta biaya investasi pembangunan pabrik nikel yang mahal.

"Investasi pabrik dan smelter bisa berkisar Rp 10–20 trilIiun, sementara di sisi lain harga nikel justru mengalami penurunan yang tajam," jelas Ketua Umum Perhapi, Sudirman Widhy Hartono saat dihubungi Selasa (03/06).

Efek domino yang terjadi adalah terjadinya margin keuntungan smelter yang semakin kecil, dan keekonomian pabrik menjadi beresiko tinggi.

Meski begitu, Sudirman menyebut, kondisi ini tidak hanya dialami oleh pabrik pengolahan di dalam negeri, namun juga diseluruh dunia. Karena hal inilah, wajar jika perusahaan pabrik pengolahan nikel melakukan upaya-upaya efisiensi guna menekan biaya produksi, dan mengurangi potensi kerugiaan. 

"Harga nikel kurang baik seperti saat ini, maka jika ada Perusahaan yang mengurangi produksinya untuk menjaga kelebihan pasokan nikel di pasar dunia, Perhapi menilai hal itu adalah strategi yang normal dan lazim," tambahnya.

Sebelumnya, raksasa stainless steel dunia Tsingshan Holding Group dilaporkan telah menghentikan sementara produksinya smelter nikel di Indonesia per Mei 2025 ini.

Baca Juga: Harga Nikel Tertekan, Pemerintah Dinilai Perlu Kendalikan Produksi Nikel

Jauh sebelum Tsinghan, PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah juga sempat dilaporkan telah memangkas produksi pada Februari lalu. Meski kemudian manajemen Gunbuster mengatakan hal ini disebabkan karena perusahaan tengah menghadapi masa transisi.

Terkait hal ini, Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli mengatakan hal ini disebabkan oleh adanya penurunan harga nikel yang juga berpengaruh pada penurunan harga stainless steel yang dijual.

Lebih lanjut,  penghentian produksi di smelter juga bisa menjadi pemicu adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"Ketika produksi kurang atau dihentikan, maka akan berkurang karyawannya, bisa di PHK, bisa dirumahkan. Karena kalau tidak, beban operasional akan makin tinggi," ungkapnya saat ditemui di acara ESG Forum, Senin (03/06).

Baca Juga: Danantara dan Eramet asal Prancis Bahas Investasi Pabrik Nikel di Indonesia

Rizal juga menyoroti mengenai cadangan nikel berkadar tinggi atau saprolite yang mayoritas digunakan dalam smelter berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dengan hasil akhir stainles steel atau baja nirkarat.

Menurutnya cadangan nikel saprolite di dalam negeri sudah sangat tipis, dengan umur cadangan tersisa 9-13 tahun dari sekarang. Data ini kata dia akan membuat ketergantungan lebih tinggi Indonesia kepada impor nikel terutama kadar tinggi di masa depan.

"Cadangan kita kalau dihitung, beberapa ahli menyatakan antara 9 -13 tahun, itu bukan waktu yang lama. Kalau menurut saya, karena smelter itu banyak sekali dibangun, 100 lebih, bahkan 144 terakhir ya,” ujarnya. 

Baca Juga: Harga Nikel Jatuh Sebabkan Tsingshan Hentikan Produksi Baja Nirkarat di Indonesia

Selanjutnya: Bank Sumsel Babel Catat Realisasi Penyaluran KUR Rp 439,96 miliar per Mei 2025

Menarik Dibaca: Polytron Hadirkan Varian Warna Baru untuk Polytron Fox-R

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×