kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ekspor produk turunan CPO mandek


Jumat, 24 Oktober 2014 / 10:24 WIB
Ekspor produk turunan CPO mandek
ILUSTRASI. Waran.


Reporter: Handoyo | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Produsen produk hilir minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) mengeluh. Pasalnya, sejak diterapkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 145/PMK.04/2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.04/2007 Tentang Ketentuan Kepabeanan di Bidang Ekspor, ekspor produk turunan CPO jadi terhambat.

Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) mengatakan, poin yang memberatkan bagi kalangan pengusaha dalam PMK tersebut ada di pasal 8, yakni keharusan pemeriksaan fisik terhadap barang ekspor. 

Walhasil, sejak kebijakan tersebut efektif berlaku pada bulan September lalu, pemeriksaan fisik produk hilir CPO yang akan diekspor menjadi lebih ketat. Atas penerapan kebijakan ini, kalangan pengusaha menjadi dirugikan. 

Bahkan salah satu anggota Gimni harus menelan pil pahit karena volume ekspornya anjlok. "Mereka (anggota Gimni) menuliskan setelah dilakukan pemeriksanaan fisik ini ekspornya menurun hingga 60%," ujar Sahat, Kamis (23/10). Paling tidak, ada enam perusahaan anggota Gimni yang terhambat akibat kebijakan ini.

Asal tahu saja, sejak 14 September 2014, semua produk hilir CPO yang terkena bea keluar (BK) secara otomatis akan masuk ke jalur merah. Produk yang akan diekspor harus lewat pemeriksaan fisik, mulai dari pabrik hingga pengapalan. Pemeriksaan fisik berlaku untuk produk kemasan maupun bulking (curah).

Hal ini cukup memperpanjang proses ekspor. Sebab, pada PMK sebelumnya, pemeriksaan hanya memberlakukan sistem sampel. Sementara itu, untuk produk bulking, pemeriksaan dilakukan petugas bea cukai di kapal. 

Sahat menambahkan, kendala yang dihadapi oleh kalangan pengusaha terkait dengan kebijakan ini adalah fleksibilitas dalam perdagangannya. Selain kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM), waktu pelaksanaan pemeriksanaan juga terbatas. 

Dengan kebijakan ini, pemeriksanaan produk hanya terikat pada jam kerja, yakni hingga pukul 16.00. Padahal, perusahaan besar biasanya bekerja 24 jam untuk mengejar target ekspor.

Selain membuat ekspor turun, pemeriksaan fisik juga membuat biaya pengapalan membengkak. "Bila terjadi keterlambatan, pengusaha harus membayarkan biaya tambahan lagi, jumlahnya dapat mencapai Rp 1,35 juta per kontainer," kata Sahat.

Tak ayal, target ekspor produk hilir CPO, tidak termasuk biodiesel, yang pada tahun 2014 mencapai 12,2 juta ton bakal sulit tercapai. Sekedar informasi, selama ini ekspor dari produk hilir CPO tersebut sebanyak 40% berupa produk bulking, sedangkan 60% produk kemasan.

Pengusaha melalui Gimni dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) sudah melayangkan surat keberatan kepada Kementerian Keuangan atas beleid ini. Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan pun berharap agar aturan ini dikaji kembali. Soalnya, selama ini, pemerintah selalu mendorong hilirisasi. Maka seharusnya ekspor produk turunan CPO mendapat kemudahan.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×