kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45907,08   3,74   0.41%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Eksportir Lobi Pemerintah Minta Dispensasi Wajib L/C


Senin, 30 Maret 2009 / 07:51 WIB
Eksportir Lobi Pemerintah Minta Dispensasi Wajib L/C


Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Ketentuan wajib letter of credit (L/C) bagi ekspor minyak sawit (CPO) dan produk tambang di atas US$ 1 juta akan berlaku mulai 1 April nanti. Tapi, beberapa perusahaan masih berusaha melobi pemerintah agar memperoleh dispensasi. Apalagi, beberapa eksportir terikat terikat kontrak jangka panjang dengan pembelinya.

Dalam pertemuan dengan Departemen Perdagangan (Depdag) akhir pekan lalu, 18 perusahaan meminta penundaan pemberlakuan wajib L/C sampai kontrak ekspor mereka berakhir. Mereka ini terdiri dari 14 perusahaan tambang dan empat perusahaan CPO.

Produsen CPO yang mengajukan penundaan adalah: Sinarmas, PT Asian Agri, PT Astra Argo Lestari Tbk, dan PT Wilmar International. Sedang identitas para perusahaan tambang itu masih belum terungkap. Yang pasti, kontrak ekspor tambang biasanya bisa lebih dari tiga tahun. "Biasanya, kontrak penjualan kami paling lama dua tahun," imbuh Max Ramajaya, Manajer Pengembangan Bisnis Wilmar International.

Tapi, bisa jadi para eksportir itu harus gigit jari. Sebab, "Persetujuan penundaan tidak serta merta sesuai kontrak habis, tapi hanya beberapa bulan," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Depdag, Diah Maulida. Tepatnya, penundaan hanya berlaku sampai 31 Agustus 2009.

Max bilang, sejatinya perusahaannya bisa dengan gampang merevisi kontrak pembelian. "Tapi, siapa nanti yang membayar pembukaan L/C? Pasti itu dikenakan ke kami," tandasnya.

Pengusaha batubara Jeffrey Mulyono sudah menghitung beban tambahan ini. Untuk setiap pembukaan L/C, ia mengaku harus membayar sekitar 0,8% dari nilai ekspor. "Padahal, setiap bulan, total ekspor perusahaan batubara kita bisa senilai US$ 750 juta," katanya.

Para pengusaha menganggap biaya tambahan ini akan membebani mereka. "Dampaknya, harga produk kita menjadi tidak kompetitif lagi," timpal Max. Oleh sebab itu, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Priyo Pribadi Soemarno meminta pemerintah segera mendirikan pusat krisis (crisis center) untuk menangani dampak negatif dari penerapan aturan wajib L/C ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×