Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan tambang Prancis, Eramet kini sedang menjajaki kemitraan dengan perusahaan pemasok kobalt asal China, Zhejiang Huayou Cobalt Co, guna menggarap produksi baterai berbasis nikel di Indonesia.
Sebelumnya, proyek smelter nikel-kobalt untuk bahan baku baterai listrik di kawasan Teluk Weda, Maluku Utara, direncanakan akan digarap Eramet bersama perusahaan Jerman, BASF.
Namun, BASF memutuskan untuk tidak melanjutkan kerja sama ini karena adanya perubahan kondisi pasar nikel yang signifikan, khususnya pada pilihan nikel yang menjadi suplai bahan baku baterai kendaraan listrik.
Baca Juga: Proyek Sonic Bay Batal, ESDM: Eramet-BASF Bisa Pasok Smelter Lain
Melansir dari Bloomberg Minggu (7/7), selain menjajaki kerja sama, Eramet juga mempertimbangkan untuk mengambil saham di pabrik Huafei yang dikendalikan oleh Huayou.
Pabrik ini merupakan fasilitas High Pressure Acid Leach (HPAL) atau pengolahan dan pemurnian nikel limonit terbesar di dunia.
Sayangnya, juru bicara Eramet menolak mengomentari langkah tersebut. Dalam pernyataan sebelumnya, mereka menyebutkan bahwa pihaknya terus mengevaluasi investasi lebih lanjut di Indonesia. Huayou juga tidak segera menanggapi email yang meminta komentar terkait kerjasama ini.
Langkah ini menggarisbawahi kesulitan yang dihadapi perusahaan-perusahaan Barat dalam menciptakan rantai pasokan mineral penting yang bebas dari pengaruh Tiongkok.
Bulan lalu, Eramet membatalkan rencana untuk membangun kilang nikel-kobalt senilai US$2,6 miliar dengan BASF di Teluk Weda, dengan alasan meningkatnya ketersediaan nikel tingkat baterai.
Baca Juga: BASF dan Eramat Batal Investasi, Anggota Komisi VII Minta Pemerintah Segera Berbenah
Proyek tersebut akan menjadi satu-satunya fasilitas HPAL di Indonesia yang memiliki pemegang saham dari negara-negara Barat, sehingga berpotensi layak menerima subsidi besar berdasarkan Undang-Undang Pengurangan Inflasi Amerika Serikat.
Namun, perusahaan-perusahaan Tiongkok mampu membangun pabrik tersebut jauh lebih cepat dan lebih murah dibandingkan perusahaan-perusahaan di Barat, meskipun mereka juga menghadapi kekhawatiran mengenai cara mereka mengelola tailing yang memiliki risiko kontaminasi parah.
Dengan kemampuan ini, diprediksi akan lebih banyak pabrik HPAL buatan China yang mengolah bijih nikel untuk digunakan dalam baterai akan beroperasi di Indonesia dalam beberapa tahun mendatang untuk memenuhi meningkatnya permintaan dari sektor kendaraan listrik.
Baca Juga: BASF dan Eramet Batal Garap Hilirisasi Nikel
Sebagai catatan, Huayou sudah mengoperasikan dua unit di Indonesia dan berencana membangun dua unit lagi melalui kemitraan dengan Vale SA dari Brasil.
Nickel Industries Ltd yang terdaftar di Bursa Efek Australia dan konglomerat Indonesia PT Harum Energy Tbk (HRUM) juga tengah membangun pabrik bersama perusahaan swasta China, Tsingshan Holding Group, yang merupakan produsen nikel dan baja tahan karat terbesar di dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News