Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat masih banyak kendala yang dihadapi perusahaan yang akan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
ESDM memperkirakan, pada 2016 hanya ada dua smelter yang bisa diselesaikan. Saat ini dari 35 perusaaan nikel yang akan membangun smelter, baru sekitar 17-18 perusahaan yang progres pembangunannya sudah 30%.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono mengatakan, akan membahas rencana pemberian insentif demi keberlangsungan proyek smelter. Namun sayangnya, ia belum bisa menjelaskan insentif seperti apa yang akan diberikan.
Menurut Bambang, salah satu kendala utama yang menghambat pembangunan smelter adalah krisis ekonomi global yag ditandai dengan melemahnya harga komoditas pertambangan. Ditambah permintaan juga cenderung menurun.
Dia bilang, hampir seluruh perusahaan smelter terdampak krisis global. "Bagaimana caranya, insentifnya apa nanti perlu kita diskusikan, smelter-smelter yang dapat diselesaikan 2016 ini masih sangat kecil, mungkin hanya sekitar dua smelter yang bisa selesai," terangnya di Kantor Dirjen Minerba, Selasa (27/10).
Namun dia belum mau menyebut dua perusahaan yang akan komisioning di 2016 tersebut.
Sementara itu, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Mohammad Hidayat menambahkan, belum bisa memastikan sampai akhir tahun ini proyek smelter apa saja yang beroperasi. Pasalnya, sampai sekarang ini proyek smelter itu masih terkendala pembangunan karena harga komoditas sedang turun.
"Kemudian itu aspek finansialnya juga seret, ternyata perbankan juga sulit meminjamkan uang di sektor pertambangan karena tidak ada jaminan buat perbankan juga kan," terangnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladjiman Damanik mengatakan, kendala utama dalam pembangunan smelter adalah perizinan, terutama terakit dengan UU No 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah.
"Dimana pengelolaan semua IUP dialihkan ke Pemprov yang tidak sesuai UU No 4 tahun 2009 dikeluarkan oleh Pemkab yang menimbulkan banyak masalah tumpang tindih lahan," urainya kepada KONTAN, Selasa (27/10).
Lalu kata Ladjiman, masalah pendanaan yang banyak muncul karena perbankan, baik BUMN maupun swasta tidak familiar dengan smelter. Sehingga proyek smelter ini tidak mudah mendapat jaminan pinjaman dari perbankan.
"Perbankan lebih nyaman untuk meminjamkan pembiayaan kepada properti, perkebunan. Maka disinilah Apemindo mendesak pemerintah untuk mengarahkan sebagian dananya ke sektor pertambangan atau industri hilirisasi," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News