kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

ESDM: Tata niaga dan harga nikel domestik harus mengacu Permen No.11/2020


Minggu, 17 Mei 2020 / 17:11 WIB
ESDM: Tata niaga dan harga nikel domestik harus mengacu Permen No.11/2020
ILUSTRASI. Kendaraan truk melakukan aktivitas pengangkutan ore nikel ke kapal tongkang di salah satu perusahaan pertambangan di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Rabu (6/11/2019). Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM telah memutuskan mel


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2020 sudah lebih dari sebulan diundangkan. Dengan begitu, tata niaga dan harga nikel domestik harus sudah mengacu pada ketentuan yang tertuang di dalam beleid tersebut.

Permen ESDM No.11/2020 merupakan perubahan ketiga atas Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2017 tentang tata cara penetapan harga patokan penjualan mineral logam dan batubara.

Permen ini diteken oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 13 April 2020, diundangkan pada 14 April 2020, dan mulai berlaku setelah 30 hari diundangkan.

Baca Juga: Saham Pertambangan Emas Mengkilap, Saham Batubara Makin Gelap

Dengan begitu, ketentuan dalam Permen ESDM No.11/2020, termasuk mengenai tata niaga nikel domestik sudah harus diimplementasikan sejak 14 Mei 2020. Hal itu ditegaskan oleh Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak.

Menurut Yunus, pihaknya pun sudah melakukan sosialisasi kepada stakeholders terkait, khususnya kepada penambang nikel yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) serta perusahaan smelter dalam Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I).

"Sudah wajib sesuai Permen ESDM No. 11/2020 dan itu sudah disosialisasikan. Kita sudah sepekat menjalankan itu dan mengawasinya," kata Yunus saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (17/5).

Adapun terkait dengan tata niaga nikel domestik, Permen ESDM No.11/2020 mengatur tentang penetapan Harga Patokan Mineral (HPM) yang mempertimbangkan mekanisme pasar internasional, peningkatan nilai tambah dan pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik. Dengan beleid tersebut, transaksi jual-beli bijih nikel mengacu pada HPM, yang menjadi harga batas bawah.

Sekali pun transaksi di bawah HPM, maka diatur bahwa transaksi dapat dilakukan di bawah harga dengan selisih tidak lebih dari 3%. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perbedaan kutipan harga atau penalti mineral pengotor (impurnities) yang melebihi standar.

Menurut Yunus, pengaturan tata niaga tersebut tidak akan merugikan kedua belah pihak, lantaran pemerintah sudah mempertimbangkan besaran Harga Pokok Produksi (HPP) baik dari penambang maupun pemilik smelter.

Baca Juga: Aturan tata niaga nikel domestik terbit, begini tanggapan asosiasi

Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan bahwa pengaturan dalam Permen ESDM No.11/2020 memberikan kepastian hukum bagi para penambang nikel. Pasalnya, sebelum ada beleid tersebut, harga jual bijih nikel ditentukan oleh industri smelter

"Adanya HPM sebagai acuan dasar harga jual beli domestik merupakan bentuk keadilan bagi penambang. (Tata niaga dalam Permen ESDM No.11/2020) sudah fair untuk penambang dan smelter," kata Meidy, kepada Kontan.co.id, Sabtu (16/5).

Meidy membeberkan, setelah adanya percepatan larangan ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020 ini, ditambah dengan adanya tekanan dari pandemi Corona (covid-19), penambang nikel menjadi semakin terpukul. Padahal, kata Meidy, bijih nikel kadar rendah di bawah 1,7% masih laku di pasar ekspor. Namun, tidak laku di pasar domestik.

Meidy mengungkapkan, industri smelter saat ini hanya menyerap bijih nikel dengan kadar lebih dari 1,8%. Sedangkan rencana pembangunan smelter untuk produksi baterai mobil atau lithium yang dapat menyerap nikel kadar rendah masih belum terealisasi.

"Sehingga adanya ketidakpastian, terutama bagi penambang bijih nikel kadar rendah yang saat ini tidak terserap oleh industri smelter di dalam negeri." kata Meidy.

Dari segi harga, Meidy memberikan gambaran bahwa HPM nikel ore kadar 1,8% pada Mei ini sebesar US$ 27,17 per ton. Namun, harga yang dibeli oleh smelter domestik dinilai masih belum menguntungkan bagi penambang. Sebab dengan skema penjualan Cost, Insurance and Freight (CIF) harganya hanya sekitar US$ 26-US$ 28 per ton.

Sedangkan jika dengan skema Free on Board (FoB) harganya hanya sekitar US$ 20 per ton. Padahal, kata Meidy, harga internasional untuk bijih nikel kadar 1,8% paling tidak berada di angka US$ 55 per ton dengan skema FOB.

Meidy berharap, perusahaan smelter dalam negeri bisa mematuhi tata niaga nikel domestik sesuai dengan Permen ESDM No.11/2020 sejak 14 Mei 2020 lalu. Meski pada prakteknya peraturan tersebut belum sepenuhnya terealisasi di lapangan, Meidy mengatakan bahwa pihaknya masih memberikan pemakluman, paling tidak hingga akhir Mei nanti.

"Setelah itu smelter sudah wajib memenuhi ketentuan (Permen No.11/2020)," tandas Meidy

Adapun terkait dengan kesiapan industri smelter dalam menjalankan aturan tata niaga nikel domestik ini, hingga tulisan ini dimuat, pihak AP3I belum memberikan konfirmasi kepada Kontan.co.id.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×