Reporter: Ranimay Syarah | Editor: Azis Husaini
JAKARTA. Pemerintah terus memutar otak untuk memberikan insentif harga lebih tinggi kepada produsen bahan bakar nabati (BBN) yang terdiri dari biodiesel dan bioetanol agar mau memasok ke Pertamina. Maklum, selama ini produsen BBN tak ingin memasok ke Pertamina lantaran harganya masih rendah
Insentif harga tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No 2185 tahun 2014 tentang perubahan Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (HIP BBN). Menurut Rida Mulyana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dalam aturan lama produsen biodiesel hanya menikmati HIP 100% Mean of Platts Singapore (MOPS). Tapi, dengan aturan baru ini. "100% MOPS ditambah 3,48% atau menjadi 103,48% per kiloliter," ungkap dia. Saat ini harga MOPS untuk solar US$ 750 per KL.
Dengan perhitungan ini, berarti harga jual produsen biodiesel US$ 776,1 per KL. Dia menyatakan, dengan perubahan HIP maka produsen biodiesel akan diuntungkan dan negara tidak akan lagi impor solar ke depannya jika pasokan biodiesel mulai banyak. "Ini kan mandatory hingga 2025, jadi sekarang sawit banyak diekspor, silakan saja ekspor tetapi kami memberikan harga yang tinggi kalau mau diolah menjadi biodiesel," ungkap dia kepada KONTAN, Kamis (24/4).
Sementara itu, kalangan pengusaha tentu mengapresiasi upaya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengakomodasi usulan produsen biodiesel untuk merevisi harga indeks pasar (HIP) komoditas tersebut. Namun, Paulus Tjakrawan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) menyatakan, kebijakan pemerintah ini masih belum bisa dipastikan untuk dapat mendongkrak pemanfaatan jenis bahan bakar nabati (BBN) tersebut di dalam negeri. "Saya menilai, butuh waktu sekitar enam bulan untuk perkembangan penetapan HIP biodiesel ini. Pasalnya, dasar penghitungannya masih berlandaskan harga publikasi mean of platts Singapore (MOPS) biosolar, walaupun sekarang sudah ditingkatkan menjadi 103,48%," kata dia.
Kata dia, harga publikasi MOPS sangat fluktuatif karena turut terpengaruh dengan perkembangan harga bahan baku tanaman untuk biosolar, misalnya kedelai, kelapa sawit, ataupun tanaman lain. Lain soal jika harga publikasi MOPS yang digunakan pemerintah sebagai tolak ukur hanya dipengaruhi oleh perkembangan harga kelapa sawit atawa crude plam oil (CPO).
Karena itu, menurutnya, semula para produsen biodiesel mengusulkan penetapan HIP-nya berdasarkan patokan biaya pokok produksi. Menurut saya, patokan harga jual tersebut akan lebih stabil karena akan mempertimbangkan harga CPO di dalam negeri, ongkos tenaga listrik, biaya pengoperasian boiler serta bahan baku lain seperti methanol. "Pengusaha biodiesel sejatinya mengharapkan harga jual produknya di dalam negeri bisa stabil. Dengan begitu, saya yakin pemanfaatan biodiesel di Tanah Air akan meningkat secara signifikan karena produsen dipastikan dapat memperoleh margin yang layak," ujar dia.
Dia menjelaskan, target pemanfaatan biodiesel yang dipatok pemerintah pada tahun ini sebesar 3,96 juta kiloliter (kl) masih sulit diprediksi bakal terwujud. Sebab, hal ini juga akan tergantung dengan kesediaan distributor bahan bakar minyak (BBM) untuk membeli biodiesel dari pengusaha dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
Misalnya saja, kata Paulus, PT Pertamina selaku distributir BBM terbesar di Idonesia, meskipun pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 2187/2014, perusahaan tersebut tentunya secara korporasi menginginkan harga beli yang lebih rendah. Jika Pertamina belum tentu rela membeli harga biodiesel sesuai HIP yang ditetapkan, bagaimana pula dengan dengan distributor swasta lainnya.
Selain harga jual biodiesel, yang sekarang ini masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah yaitu belum ditetapkannya HIP untuk bioethanol. Sehingga, sampai sekarang produsen lokal masih belum dapat menjual energi baru terbarukan tersebut lantaran harga jualnya masih dibawah biaya pokok produksi.
Sementara itu, pihak dari produsen kelapa sawit, Johannes, Legal Corporate Director Wilmar Indonesia bilang dengan adanya perubahan harga indeks biodiesel otomatis produsen sawit seperti Wilmat ikut merasakan efeknya. Ia bilang itu bagus karena selama ini produsen kelapa sawit dihargai rendah. "Ya kalau HIP berubah saya merasa itu baik. Namun saya belum baca detail Kepmen baru yang baru terbit ini, " kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News