Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Genap sudah satu tahun sejak Presiden Joko Widodo turun tangan langsung dalam permasalahan tingginya harga gas bagi industri melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 40 Tahun 2016. Namun sejak diterbitkan ternyata pada kenyataannya tidak semua industri bisa menikmati penurunan tersebut.
Dari tujuh sektor industri yang diamanatkan untuk menikmati harga gas maksimal US$ 6 per MMBTU baru tiga yang merasakan yakni industri petrokimia, pupuk dan baja. Masih ada empat industri lagi yang menantikannya yakni industri keramik, kaca, oleochemical dan sarung tangan karet.
Salah satu wilayah Industri yang paling terkena dampak dari tidak adanya kelanjutan dari perintah presiden adalah di wilayah Medan dan sekitarnya. Wilayah ini dikenal memiliki harga gas paling tinggi di wilayah Indonesia.
Usut punya usut ternyata mahalnya harga gas di Medan bukan hanya disebabkan oleh harga dari produsen gas yang melambung, melainkan tata kelola penyaluran tumpang tindih dan sampai saat ini belum bisa teratasi.
Kesemrawutan mekanisme tata kelola ini diungkapkan oleh sumber KONTAN yang merupakan salah satu pelaku bisnis perniagaan gas di Medan dan sekitarnya.
Sumber tersebut menyatakan pemerintah sebenarnya sudah cukup aktif mengusahakan penurunan harga gas di Medan. Ini seiring dengan adanya Keputusan Menteri (Kepmen) No 434 tahun 2017 meminta harga disesuaikan per 1 Februari 2017 walaupun kepmen di keluarkan pada tanggal 18 Maret 2017 sebesar US$ 9.95 mmbtu.
PGN sebagai pemilik akses pipa distribusi sudah melakukan penyesuaian harga sesuai Kepmen, namun Pertamina melalui anak usahanya Pertagas Niaga keberatan menyesuaikan harga gas dari PHE NSO sesuai Kepmen dengan alasan gas yang mengalir adalah LNG.
"Sehingga PGN menanggung biaya tambahan atas selisih harga PHE NSO sesuai kepmen dengan yang ditagihkan sekitar US$ 900.000," katanya kepada Kontan.co.id, Kamis (19/10).
Periode yang tidak bersedia disesuaikan Pertamina sesuai Kepmen adalah 1 Februari - 18 Maret 2017.
Fakta berikutnya adalah komponen harga jual gas di Medan yang seharga US$ 9.95 per MMBTU, porsi biaya PGN hanya 9% yaitu biaya pengelolaan jaringan distribusi 600 km sebesar US$ 0,9.
Sementara Pertagas Niaga yang menjual gas PHE NSO tanpa fasilitas atau 0 km jaringan pipa mengambil US$ 0,57. Jadi jelas tanpa kontribusi, Pertagas niaga ambil 0,58$ dan buat mahal gas di Medan.
Selain itu terdapat penerapan surcharge sebagai bentuk pengendalian pasokan akibat ketersediaan pasokan yang terbatas. Seharusnya ada tambahan pasokan gas dari triangle pase sebesar 3 bbtud sebagai tambahan pasokan, namun tidak dapat disalurkan karena tidak berikan akses oleh melalui transmisi Arun - Belawan.
Lalu Tarif Arun-Belawan yang diterapkan di kepmen 434/2017 sebesar US$ 1,88 per mscf sedangkan penetapan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas yang terbaru US$ 1,6 per mscf tapi tidak mau disesuaikan oleh Pertagas.
Sebenarnya ada solusi awal untuk harga gas di Medan adalah yakni dengan memanfaatkan Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Belawan. Namun digantikan Arun-Belawan yang realisasinya terlambat 2 tahun dan harga penyaluran lebih mahal US$ 3 dari rencana awal sehingga ada pembengkakan capex 150%.
Anggota Komite BPH Migas, Jugi Prajogio mengatakan, persoalan tata kelola gas di Medan tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang dan harus dilihat secara apple to apple. Menurutnya PGN masih gunakan pipa dedicated hilir (closed access) dan berstatus accounting unbundling (perusahaan angkutan dan niaga jadi satu di PT PGN).
Sementara Pertagas Niaga dan Pertagas merupakan perusahaan yang terpisah (legal unbundling) tapi dengan kepemilikan yg sama (saham Pertagas di Pertagas Niaga adl 99%).
"Dengan melihat tersebut, serta merujuk ke peraturan yang berlaku Peraturan Menteri 19/2009, maka tidak ada yang aneh dari margin Pertagas Niaga dan tidak membuat gas serta merta jadi mahal," ungkapnya Kepada KONTAN.
Dia pun menegaskan Pertagas Niaga harus patuh terhadap ketetapan yang sudah dibuat oleh BPH Migas untuk menurunkan tarif Arun Belawan. "Untuk toll fee ikut ketetapan BPH. Pak Menteri bahkan support ketetapan BPH itu Pertagas wajib patuh," ujarnya.
Sementara itu, Achmad Safiun Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) berpendapat pemerintah tidak bisa mendiamkan kondisi ini lebih lama lagi. Tidak hanya di Medan tapi juga di wilayah lainnya. Ia pun meminta regulasi yang mengatur margin keuntungan para pelaku usaha di industri niaga gas segera diterbitkan
Di mana aturan ini, merupakan kelanjutan dari esensi Peraturan Menteri ESDM No 6 Tahun 2017 yang menargetkan batas akhir pemberian alokasi gas bagi calo gas pada Februari 2018.
Ia menyayangkan beleid yang bertujuan memberantas praktik calo itu masih tertahan Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman yang menjadi nomenklatur dari Kementerian ESDM.
Ia menambahkan saat ini terdapat banyak trader gas yang memiliki kontrak jual beli dengan pelaku industri. Di mana pasokannya, diperoleh dari kuota gas yang dimiliki Pertagas. Adapun trader yang bermitra dengan Pertagas mengacu pada laporan keuangan perseroan meliputi:
PT Bayu Buana Gemilang, PT Java Gas Indonesia, PT Sadikung Niagamas Raya, PT Surya Cipta Internusa, PT Walinusa Energi, PT Alamigas Mega Energy, PT Dharma Pratama Sejati, PT Ananta Virya (CNG), PT Sentra Prima Services (CNG), PT Patria MigasPT IEV Gas, PT Raja Rafa Samudra, PT Indonesia Pelita Pratama, PT Bayu Buana Gemilang, PT Mutiara Energi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News