Reporter: Agung Hidayat | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi merger dan akuisisi kian mewarnai perjalanan industri nasional sepanjang 2018 ini. Tak terhitung jumlah aksi korporasi perusahaan dalam negeri tersebut, baik skala menengah maupun jumbo terealisasi di tahun ini.
Seperti misalnya PT Kimia Farma Tbk yang Januari tahun ini mengakuisisi jaringan ritel farmasi asal Arab Saudi Dwaa Ltd. Co. dengan nilai Rp130 Miliar. Hingga yang terbaru PT Fajar Surya Wisesa Tbk (FASW) berencana mengakuisisi pabrik di Surabaya dan Driyorejo yang berlokasi di Jawa Timur dengan nilai mencapai US$ 60 juta di Desember 2018 ini.
Beberapa akuisisi yang masih berproses dengan nilai fantastis antara lain Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) terhadap empat anak usaha Pertamina Gas (Pertagas), dan PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) terhadap PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) senilai US$ 917 juta.
Lukas Setia Atmaja, Pengamat Korporasi menilai trend akuisisi ini memang dalam dua dekade terakhir tengah menjamur di dunia. Pada umumnya, perseroan mengincar pertumbuhan ekonomi inorganik dengan cara menguasai bisnis yang telah jadi sebelumnya.
"Alasan lainnya perusahaan ingin mendapatkan sinergi dengan aksi tersebut," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Senin (3/12). Sinergi tersebut terbagi menjadi, yakni sinergi operasional dan sinergi keuangan.
Dari segi operasional, berpedoman pada efisiensi tentu lebih gampang jika produksi semakin besar dan banyak karena akan mempengaruhi biaya. "Dengan ada sinergi ini, biaya operasional dapat ditekan," kata Lukas.
Sementara dari segi keuangan, sinergi yang diperoleh perusahaan tentu kemungkinan pendapatan bertambah dan peluang untuk mendapatkan pinjaman jadi lebih mudah. Selain itu, kata Lukas, akuisisi juga mengincar pasar kompetitor bisnis sebelumnya sehingga dipandang mampu mempercepat pertumbuhan perusahaan.
Adapun fenomena akuisisi dapat menjadi parameter bahwa ekonomi suatu negara tengah membaik. "Kalau ekonomi makro baik, biasanya m&a (merger dan akuisisi) juga akan marak terjadi," sebut Lukas.
Sebab untuk melakukan aksi korporasi tersebut dibutuhkan investasi yang tidak sedikit, serta terukur. Menurut Lukas, motivasi akuisisi didasari prospek ekonomi yang kian membawa dampak positif bagi unit usaha.
Beberapa pertimbangan untuk melakukan m&a menurut Lukas, selain soal besarnya dana investasinya ialah strategic feed usaha tersebut. Bagaimana perusahaan atau unit usaha yang diakuisisi dapat sejalan dan memuluskan bisnis yang telah ada sebelumnya.
Di tahun 2019 mendatang, menurut Lukas hal semacam ini dapat saja terjadi kembali. Dengan catatan ekonomi makro stabil dan bertumbuh kuat, sehingga merangsang aksi korporasi yang membutuhkan dana besar.
Soal sektor bisnis yang acap kali melakukan akuisisi, kata Lukas, hampir semuanya merata. "Baik dari telekomunikasi, tambang, finansial, entertainment, migas semuanya ada," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News