Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Pemerintah menyadari menurunnya investasi hulu migas dalam beberapa tahun terakhir terutama sejak harga minyak mentah turun. Namun, ternyata bukan hanya harga minyak yang mempengaruhi investasi hulu migas.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja menyebut, blok-blok migas baru biasanya berada di wilayah terpencil. Makanya Indonesia memang kurang menarik bagi investasi hulu migas.
Tidak heran jika Indonesia yang memiliki sekitar 100 cekungan hidrokarbon, namun baru sekitar 30 cekungan yang dieksplorasi. "Masalahnya lokasi blok tersebut di wilayah frontier, artinya kalau lokasi frontier, tentu risiko tinggi dan perlu modal besar sekali," ujar Wiratmaja, Rabu (29/3).
Menurut Wiratmaja, yang paling menakutkan adalah jumlah Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang terus turun sejak sejak 2014, bahkan ketika harga minyak masih cukup tinggi. Makanya, investasi terus turun ketika harga minyak cukup tinggi. "Artinya ada sesuatu, bukan faktor harga minyak saja, ada faktor-faktor lain yang harus dicermati," paparnya.
Untuk itu pemerintah terus membahas kebijakan-kebijakan baru yang bisa membuat iklim investasi hulu migas lebih menarik. Namun, saat ini pemerintah baru bergantung pada gross split.
Dalam skema gross split memang diatur adanya tambahan split hingga 16% jika mengerjakan proyek blok migas laut dalam. Begitu juga dengan penggunaan TKDN yang bisa membuat kontraktoe mendapatkan tambahan split yang besar. "Kami harapkan bisa memberikan insentif," katanya.
Dengan begitu diharapkan Internal Rate of Return (IRR) di Indonesia terutama di laut dalam bisa lebih menarik. Pasalnya, IRR laut dalam di negara lain bisa mencapai lebih dari 30%. Sementara di Indonesia hanya capai 12%-20%. "Dengan gross split ada tambahan 16%. Kami harapkan bisa menaikan IRR yang lebih tinggi, angkanya tergantung lapangannya, kami harapkan lebih menarik," jelas Wiratmaja.
Selain gross split, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara bilang, sejak 2014, sejatinya pemerintah telah memberikan insentif. Pada tahun 2014, pemerintah memberikan insentif berupa penghapusan bea masuk dan pembebasan PBB untuk eksplorasi.
Pada 2015, pemerintah sudah tidak lagi memungut PPN untuk eksplorasi di hulu migas dan panas bumi. Pada tahun lalu, pemerintah juga tidak memungut PPh impor. "Insentif pajak saja tidak cukup, kami mesti atur governance industrinya lebih baik. Kita mesti atur GS lebih menarik. Tidak ada satu mantra, satu peraturan yang bisa membuat tiba-tiba semua beres. Ini proses yang sangat panjang yang harus kita kawal," ujar Suahasil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News