Reporter: Umar Idris, Anastasia Lilin Y, Sri Sayekti | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Namanya Zulkarnaen. Pria berkulit gelap yang tinggal di Pondok Cabe ini langsung membuka dagangannya, tiga hari usai lebaran. Bertempat di Blok F, Pasar Tanah Abang. Di situ, Zulkarnaen menjual aneka mukena. “Saya tidak memiliki konveksi, hanya mengambil langsung dari pabrik konveksi di Bandung,” kata pria yang mengaku berasal dari Sumatra Barat.
Sebenarnya, Zulkarnain tidak menempati kios permanen. “Toko” milik Zulkarnaen hanya berada di pinggir tangga di dalam Blok F. Berbeda dengan para pedagang kaki lima yang berada di pinggir jalan masuk Blok F, toko Zulkarnaen berada di dalam gedung karena berbagi tempat dengan pemilik kios. Meski kecil dan tak permanen, jangan remehkan soal omzet. “Selama bulan Ramadan kemarin, sehari masih bisa Rp 10 juta, paling sedikit Rp 7 juta,” kata Zulkarnaen.
Peningkatan nilai omzet terjadi sejak dua bulan sebelum puasa. Mulai saat tersebut, para pembeli yang mendatangi lapaknya berasal dari daerah seperti Batam, Sulawesi Selatan hingga Lampung. Sedangkan pada bulan puasa, ia kedatangan pembeli perorangan alias pembeli ritel. “Setelah lebaran omzet biasanya turun, rata-rata sekitar Rp 5 juta per hari,” kata Zulkarnaen.
Menurut Zulkarnaen, omzet yang dia nikmati terbilang kecil. Toko-toko pakaian yang telah lebih lama di Blok F umumnya memiliki omzet lebih besar lagi, bisa mencapai tiga hingga lima kali lebih besar dari omzet yang dia terima per hari. Apalagi jika lokasinya Blok A dan Blok B yang lebih strategis ketimbang Blok F. “Meski tak senyaman di Blok A dan B, Blok F tetap ramai,” tutur Zulkarnaen.
Sekadar informasi, pusat perdagangan di Pasar Tanah Abang kini berada di Blok A dan Blok B. Dua blok itu mencaplok bangunan yang dulu dikenal sebagai Blok C, D, E. Ketiga blok tersebut kini menyatu dalam Blok A dan B. Blok F hingga kini masih tetap semarak karena bangunan tersebut dikelola oleh PD Pasar Jaya.
Nah, blok yang sekarang dihidupkan lagi oleh Pemprov DKI ialah Blok G, berada di paling belakang, dekat dengan stasiun Tanah Abang, untuk menampung para pedagang kaki lima. Tadinya blok ini nyaris mati karena terlalu sepi untuk menjadi tempat berdagang.
Para pedagang di Pasar Tanah Abang menyebutkan, Blok A yang berada paling depan di kawasan Kebon Kacang dikenal sebagai pusat pakaian jadi orang dewasa, pusat tas dan sepatu hingga aksesories. “Di lantai basement Blok A itu pusat bahan tekstil,” tutur Memet, pedagang di Blok F.
Sedangkan Blok B adalah pusat pakaian jadi dewasa laki-laki dan perempuan. “Jeans pusatnya di Blok B,” kata Irwandi, pedagang. Pakaian jadi di Blok A dan B sebagian besar merupakan produk impor dari China. “Kalau untuk tekstil, produk lokal masih bisa bersaing,” tambah Irwandi.
Sedangkan di Blok F, produk yang paling banyak dijajakan ialah busana muslim dan muslimah, batik, dan bahan tekstil.
Dominasi impor
Perdagangan tekstil dan produk tekstil di Tanah Abang terus menggeliat karena menawarkan harga yang miring dari tempat lain. “Di Tanah Abang, rata-rata masih lebih murah hingga Rp 15.000 dari Thamrin City,” tutur Zulkarnaen.
Selain murah, “Keunggulan Pasar Tanah Abang adalah barangnya lebih lengkap,” terang Abuzar Asra, pengamat perkotaan yang juga guru besar riset di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Badan Pusat Statistik (BPS).
Geliat bisnis di Tanah Abang memang sungguh besar. Banyak orang menggantungkan hidup dari pasar tradional terbesar di Asia Tenggara ini, mulai dari jasa logistik dan pengiriman barang, pedagang kaki lima, penyewaan dan penjualan kios oleh pengembang, jasa parkir, dan tentu saja para pedagang pakaian yang berada di dalam kios Blok A, Blok B, Blok F, dan Blok G.
Sekarang juga bermunculan jasa penginapan untuk para pedagang dari luar kota atau manca negara yang sedang berbelanja. “Nilai ekonominya sungguh besar, namun berapa jumlah pastinya setahu saya memang belum ada yang meneliti,” kata Abuzar.
Dari banyak rantai bisnis itu, bisnis tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan sebagian besar berasal dari perdagangan tekstil.Nah, perdagangan tekstil Tanah Abang berasal dari pedagang yang formal seperti di kios-kios permanen dan pedagang informal yang menempati trotoar dan bahu jalan yang ada di luar maupun di jalanan umum dalam Pasar Tanah Abang.
Geliat bisnis di tingkat PKL cukup menggiurkan. Berdasarkan penuturan Zulkarnaen, dia dapat menghasilkan sekitar Rp 10 juta per hari atau Rp 300 juta selama bulan Ramadan. Di luar bulan Ramadan, omzetnya masih sekitar Rp 5 juta sehari atau sekitar Rp 75 sebulan.
Pedagang lain di Blok G, Sentanu, mengungkapkan pedagang di pinggir jalan rata-rata bisa menjual sekitar lima lusin baju dengan harga Rp 10.000 per potong. Ini berarti dalam sebulan, omzet PKL paling kecil Rp 18 juta.
Menurut Kepala Dinas Koperasi, UMKM dan Perdagangan DKI Jakarta Ratnaningsih, jumlah PKL di Tanah Abang yang telah terdata di instansinya mencapai 1.170 orang. Mereka adalah PKL yang mendaftar untuk ditempatkan di dalam kios-kios milik PD Pasar Jaya di Tanah Abang, khususnya di Blok G. Jumlah PKL tersebut akan terus bertambah seiring dengan penataan PKL yang belakangan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Perkiraan API, omzet perdagangan tekstil dan produk tekstil di Pasar Tanah Abang mencapai 40% dari total omzet perdagangan tekstil dan produk tekstil nasional. Perkiraan ini menghitung sektor pedagang tekstil yang berada di kios-kios maupun PKL. “Tahun 2012 lalu, total perdagangan omzet secara nasional mencapai US$ 7,6 miliar,” tutur Ade yang juga pengusaha tekstil asal Jawa Barat.
Ini berarti, perputaran bisnis tekstil di Tanah Abang per tahun mencapai US$ 3,04 miliar atau sekitar Rp 30 triliun.
Sebagian besar bisnis tekstil di Tanah Abang didominasi oleh kain lembaran atawa bahan tekstil. Setelah itu pakaian jadi. “Tetapi sekitar 60% sekarang didominasi oleh produk impor, lokalnya hanya 40%,” tutur Ade.
Tahun 2012 lalu, menurut hitungan API, produk tekstil dan bahan tekstil impor hanya sekitar 50%. Tahun ini diperkirakan, produk impor di Tanah Abang terus membesar. “Kami mendukung penuh penataan pasar Tanah Abang karena akan memudahkan kami untuk mengidentifikasi produk impor dan lokal,” tutur Ade.
Lahan Gemuk
Asal tahu saja, kata Ade, sebagian besar pedagang kaki lima menjual produk impor. Namun, peredaran produk tersebut tidak bisa dideteksi karena diduga produk ini berasal dari impor yang tak tercatat di pelabuhan.
Jika PKL ditata di dalam gedung, “Pedagang lebih aman dan jadi legal. Kalau tempat belanjanya semakin nyaman, pembeli akan makin bertambah,” tutur Ade.
Di luar tekstil, Pasar Tanah Abang juga menghidupi berbagai perusahaan pengiriman barang. Salah satunya adalah JNE. Total transaksi yang dinikmati oleh JNE setiap bulan dari jasa pengiriman barang mencapai Rp 1 miliar. “Kebutuhan pengiriman barang dari pedagang grosir ini naik saat Ramadan. Dibandingkan dengan Ramadan tahun lalu, ada peningkatan sekitar 30%,” kata Riska Dewi Oktaria, Public Relations Manager Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE).
JNE tak melewatkan membuka keagenan di Pasar Tanah Abang dan pasar grosir lain, karena jasa pengiriman sangat dibutuhkan oleh pedagang. “Penertiban pedagang kaki lima tidak berpengaruh besar karena PKL lebih banyak melayani penjualan langsung kepada konsumen,” tutur Riska.
Direktur Surat & Parsel Pos Indonesia Ismanto juga bahwa melihat potensi bisnis pengiriman barang di Pasar Tanah Abang sangat menggiurkan. Sayang, PT Pos Indonesia tidak memiliki kantor yang berlokasi di Pasar Tanah Abang. “Bukan karena harga lahan di sana mahal, tapi memang tidak ada yang mau jual lahan. Kalau ada tanah yang ditawarkan, kami tentu sangat berminat karena ini lahan gemuk,” kata Ismanto.
Sejauh ini Pos Indonesia baru berhasil mendekap pedagang grosir yang berlokasi di Pasar Baru Bandung, Pasar Beringharjo Yogyakarta. dan Pasar Turi Surabaya. Nilai transaksi pengiriman barang di Pasar Baru Rp 1 miliar per bulan sedangkan di Pasar Beringharjo sampai Rp 2,5 miliar per bulan.
Dengan perputaran bisnis yang besar, potensi pemasukan PT Pos Indonesia dari Tanah Abang tentu lebih besar dari pasar lain.
Di luar itu, masih banyak sektor ekonomi yang dihidupi oleh Pasar Tanah Abang seperti parkir dan jasa keamanan. Sayangnya, sektor ini sulit dihitung besarannya. “Ini black economy, karena parkir dan jasa keamanan tidak masuk ke negara, tetapi ke individu,” tutur Abuzar Asra.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 46 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News