Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) mengungkapkan alasan mengajukan permohonan uji materiil atau Judicial Review (JR) terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 pasal 58 ayat 2 soal kenaikan pajak hiburan.
Melalui kuasa hukumnya Muhammad Joni, GIPI mengatakan ada beberapa alasan mengapa GIPI menolak dan meminta membatalkan kenaikan khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan spa yang ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
“Yang pertama, karena ada perlakuan yang diskriminatif, perlakuan berbeda karena ada (industri) yang diturunkan tapi kenapa 5 jenis ini malah dinaikkan?,” ungkap Joni saat ditemui Kontan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (07/02).
Baca Juga: GIPI Resmi Ajukan Uji Materi Beleid Soal Kenaikan Pajak Hiburan ke MK
Yang kedua, menurutnya perlakukan berbeda yang bersifat diskriminatif tersebut tidak ada logika dan rasio legisnya atau rasio hukumnya.
“Mengapa kelima ini (industri hiburan) dikualifikasikan sebagai industri yang bersifat mewah dan yang bersifat perlu dikendalikan? Karena hemat saya dan kita mendalilkan dalam permohonan ini tidak serta-merta lima itu sama dengan (industri) yang mewah dan harus atau perlu dikendalikan,” tambahnya.
Joni mencontohkan bahkan sekarang sudah ada layanan karaoke paket hemat, seperti paket dua jam namun bayarnya hanya senilai satu jam.
“Itu meruntuhkan argumentasi pandangan pembuat undang undang bahwa kelima jenis itu adalah produk jasa hiburan yang mewah,” ungkapnya.
Alasan selanjutnya, penerapan kenaikan tarif pajak ini menurutnya tidak tepat waktu karena belum pulihnya industri hiburan yang menjadi mata rantai industri pariwisata.
“Terbukti dari kalkulasi angka di DKI Jakarta saja, bahwa realisasi pajak daerah hal ini pajak hiburan masih 1,6 persen yang sebenarnya belum seperti sedia kala yang seperti sebelum 2020 atau sebelum Covid-19,” katanya.
Alasan selanjutnya adalah karena menurut Joni penerapan tarif pajak harusnya juga sejalan dengan kesempatan berusaha bagi para pelaku industri.
“Ini adalah suasana yang penting untuk mempengaruhi industri hiburan atau industri pariwisata karena untuk kebijakan tarif pajak itu harus bijaksana, terjangkau dan adil. Zaman sekarang kebijakan tarif pajak harus yang mendukung dan nyaman bagi kesempatan berusaha dan menaikkan kesempatan develop industri ini,” ungkapnya.
Dan alasan terakhir adalah karena kebijakan kenaikan pajak ini dinilai akan berimplikasi pada masyarakat luas dan juga berkaitan pada Hak Asasi Manusia (HAM).
Baca Juga: GIPI Ungkap Okupansi Hotel di Indonesia Masih Stagnan, Ini Penyebabnya
“Yang terakhir, ini adalah bagian daripada kepentingan publik, masyarakat luas, industri, bukan hanya kepentingan industri hiburan tapi sebenarnya kepentingan pekerja formal-informal jasa hiburan,” katanya.
Industri hiburan jelas Joni adalah bagian social safety net karena industri ini mampu menyerap pekerja tanpa memandang kualifikasi dan standar tertentu, sehingga menjadi lebih mudah untuk terserap.
“Poin saya juga bahwa hiburan adalah hak asasi manusia, kalau kita baca Deklarasi Universal HAM (DUHAM) atau UU Pariwisata No 10 tahun 2009 salah satu kebutuhan manusia adalah waktu luang hingga kesempatan untuk berlibur dan ini adalah hal yang legal dan absah,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News