Reporter: Agung Hidayat | Editor: Rizki Caturini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Industri Produk Kawat Baja Indonesia (Gipkabi) menentang rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait usulan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) kepada produk kawat baja (steel wire rod/SWR) sebesar 10,2%-13,5% selama 5 tahun.
Menurut Wakil Ketua Gipkabi, Sindu Prawira, rekomendasi tersebut sangat tidak tepat. Asosiasi menilai, sebenarnya tidak ada yang perlu ditakutkan dengan importasi produk baja. “Selama 2017 ini sebenarnya telah terjadi penurunan impor kawat baja dibandingkan tahun lalu,” terangnya kepada Kontan.co.id, Minggu (10/12).
Steel wire rod digunakan oleh pelaku industri hilir baja sebagai bahan baku bermacam produk turunan seperti baut, mur, kawat jembatan dan item kecil penyusun konstruksi lainnya.
Berdasarkan data yang dirangkum Gipkabi dalam surat protesnya, rata-rata per bulan impor SWR di 2017 sebesar 40.000 metrik ton (MT). Sementara di tahun lalu, impor SWR tiap bulannya berkisar 60.000-70.000 MT.
Sindu menilai, bisnis kawat baja di indonesia sudah sangat ketat oleh regulasi dan kebijakan yang ada sebelumnya. Permendag No. 82 Tahun 2016 sudah dirasa cukup dalam mengatur ketentuan impor produk besi dan baja. “Proteksi pemerintah seperti safeguard juga sudah ada,” ujarnya.
Namun kebutuhan akan impor tak terelakkan, sehingga rekomendasi ini cenderung menekan industri kawat baja yang telah stabil menjalankan bisnisnya. Apalagi, tidak semuanya bisa menghasilkan produk dengan kualitas yang diinginkan industri hilir. “Untuk kebutuhan produksi tertentu, misalnya mata bor, itu bahannya belum ada di Indonesia,” imbuh Sindu.
Setiap tahun, Gipkabi memperkirakan permintaan akan kawat baja mencapai 2,5 juta MT. Sebanyak 1,8 juta MT didapatkan dari produsen lokal seperti PT Krakatau Steel Tbk, PT Gunung Garuda, PT Ispat Indo dan PT The Master Steel Mfc. Sedangkan sisanya, sekitar 700.000 MT diimpor dari China.
Rekomendasi tersebut juga dicemaskan industri hilir baja sebab harga produk mereka akan mengalami kenaikan, sementara industri hilir domestik masih harus bersaing dengan produk jadi kawat baja impor.
“Kalau ini dikenai BMAD, disisi lain produk impor jadi kawat baja tidak ada proteksi, maka kami akan sulit berkompetisi dengan produk impor lainnya,” ujar Sindu .
Sementara SWR ialah bahan baku utama produk hilir kawat baja, dan menurut Sindu produksi bahan baku dalam negeri belum mencukupi kebutuhan kawat baja pra-tekan lokal. Dimana dengan demand akan SWR dan kawat baja pra-tekan lainnya tiap tahun mencapai 2,5 juta Metrik Ton (MT), sebanyak 700.000 berasal dari impor.
Mau tidak mau pelaku usaha hilir kawat baja pra-tekan harus menaikkan harganya. Namun hal tersebut terganjal pula lantaran serapan produk kawat baja banyak dipakai proyek konstruksi. “Ada ikatan berjangka dengan nilai kontrak. Hal ini tidak memungkinkan kami untuk menaikkan harga produk,” beber Sindu.
Kalau pun rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) berlaku, kata Sindu, kemungkinan harga naik dikisaran yang sama dengan nilai BMAD yakni 10,2%-13,5%. “Hal ini dapat mematikan daya saing industri dalam negeri,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News