Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Semenjak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah secara terbuka mengajukan menerima pengelolaan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK).
Ormas keagamaan lain mulai menunjukan keinginan yang sama, sebut saja Pengurus Pusat Persatuan Islam (PP Persis) dan Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI).
Bahkan, Menteri Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang membeberkan bahwa setidaknya ada 3-4 organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan lainnya yang ikut mengajukan minat untuk mengelola WIUPK ini.
Banyaknya ormas keagamaan yang ingin mengelola tambang sepertinya tidak sejalan dengan jumlah lahan yang bisa digarap.
Baca Juga: Ikuti Jejak NU dan Muhammadiyah, 2 Ormas Ini Siapkan Strategi untuk Kelola Tambang
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sebelumnya mengungkapkan, ada 6 lahan tambang eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang bakal diberikan ke organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.
Lahan tambang itu terdiri dari eks PKP2B PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MAU), dan PT Kideco Jaya Agung. Seluruh lahan itu merupakan PKP2B generasi I yang mengalami penciutan lahan dari beberapa perusahaan-perusahaan tersebut.
Lalu, jika ormas keagamaan yang mengajukan lebih banyak dari jumlah tambang akan terjadi aksi 'rebutan'?
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan, Bisman Bakhtiar mengatakan luas lokasi dari 6 eks PKP2B tersebut bervariasi dan berbeda-beda, sehingga pemerintah bisa membaginya secara proporsional sesuai dengan eksistensi Ormas yang bersangkutan.
"Jadi bisa saja 1 lahan eks PKP2B namun dibagi menjadi beberapa lokasi WIUPK untuk beberapa Ormas. Namun tentunya pemerintah harus benar-benar selektif terhadap Ormas yang akan diberikan WIUPK serta memastikan menghindari potensi kolusi maupun conflict of interest," ungkap Bisman saat dihubungi Kontan, Senin (12/08).
Ia juga menambahkan, ramainya ormas keagamaan yang mulai unjuk gigi mengelola tambang jika dilihat dari aspek pertambangannya tidak akan banyak pengaruh, sebab yang menjadi pelaku usaha tetap badan usaha PT namun dimiliki oleh Ormas.
"Secara operasional mereka juga tetap harus mengikuti semua kebijakan dan ketentuan yang ada, baik dari aspek eksplorasi, operasi produksi maupun pasca tambang," tambahnya.
Adapun, analis hukum Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bayu Yusya mengungkapkan bahwa pemerintah harus melihat prioritas pemberian WIUPK bukan hanya soal siapa yang lebih dulu mengajukan, tetapi siapa yang memenuhi persyaratan yang diatur dalam PP dan Perpres 25/2024 soal Izin Tambang Ormas.
"NU sebagai salah satu ormas terbesar mungkin memiliki kapasitas dan sumber daya yang lebih untuk memenuhi persyaratan, namun ormas lainnya juga memiliki hak yang sama asalkan memenuhi kriteria yang ditetapkan," katanya.
Dia juga mengatakan apabila jumlah peminat melebihi lahan eks PKP2B yang tersedia, pemerintah harus menjalankan proses seleksi yang ketat, transparan, dan adil.
"Dalam hal ini, pemerintah tidak boleh hanya berfokus pada ormas besar seperti NU atau Muhammadiyah, tetapi harus memberikan kesempatan yang sama kepada semua ormas yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Mekanisme seleksi harus dilakukan dengan objektif, berdasarkan pemenuhan persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial," tutupnya.
Baca Juga: Muhammadiyah Bentuk Tim Khusus Usai Terima Izin Usaha Tambang, Ini Daftar Lengkapnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News