Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menilai prospek harga crude palm oil (CPO) hingga akhir tahun masih berada pada tren positif di tengah stagnasi produksi global.
Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, memperkirakan harga CPO akan bertahan di kisaran US$ 1.100–US$ 1.200 per metrik ton, dengan potensi menembus US$ 1.300 CIF Rotterdam.
“Produksi sawit Indonesia dalam lima tahun terakhir stagnan, demikian juga Malaysia. Sementara permintaan minyak nabati dunia terus meningkat. Kondisi ini yang menopang harga tetap tinggi,” ujar Eddy dalam Webinar Palm Oil as a Strategic Corridor: Strengthening Indonesia-India Economic and Trade Cooperation, Senin (22/9/2025).
Baca Juga: Pengusaha Sawit Yakin Ekspor CPO Masih Tetap Kuat di Tengah Tantangan Global
Lebih lanjut, Eddy menekankan bahwa kepastian regulasi masih menjadi persoalan krusial bagi industri sawit. GAPKI mendorong pemerintah memberikan kejelasan status lahan melalui penerbitan sertifikat, baik hak guna usaha (HGU) untuk perusahaan maupun sertifikat hak milik untuk masyarakat.
“Jangan sampai ada lahan yang sudah bersertifikat namun masih dipermasalahkan. Kepastian hukum penting agar iklim usaha tetap terjaga,” tegasnya.
Eddy juga menyoroti tantangan pasokan dalam negeri seiring meningkatnya kebutuhan program biodiesel. Pemerintah sempat mewacanakan peningkatan bauran menjadi B50 pada tahun depan.
Menurut GAPKI, dengan kondisi produksi yang stagnan, peningkatan konsumsi domestik berpotensi mengurangi ekspor.
“Kami sudah sampaikan masukan ke pemerintah agar rencana B50 dievaluasi lebih dulu. Kalau dipaksakan, dampaknya pasti ke ekspor, karena kebutuhan pangan dalam negeri tidak mungkin dikurangi,” jelas Eddy.
Baca Juga: Gapki Khawatirkan Target B50 2026 Berpotensi Terdampak Penurunan Ekspor CPO
Faktor lain yang menekan produksi adalah rendahnya produktivitas perkebunan rakyat. Saat ini sekitar 42% perkebunan sawit nasional dikelola petani, banyak di antaranya sudah membutuhkan program peremajaan (PSR).
Sayangnya, realisasi PSR masih terbatas karena terkendala status lahan dan keberatan petani untuk menebang pohon tua yang produktivitasnya rendah.
“Banyak petani hanya menghasilkan 10 ton TBS per hektare per tahun, bahkan ada yang lebih rendah. Padahal setelah replanting bisa naik hingga tiga kali lipat. Pemerintah perlu memberi solusi, misalnya bantuan pendapatan sementara atau mendorong intercropping dengan tanaman semusim seperti jagung atau padi gogo,” ujar Eddy.
Ia menambahkan, bila ekspor sawit Indonesia terpaksa ditekan akibat program biodiesel, pasokan minyak nabati global akan terganggu dan harga berpotensi melonjak lebih tinggi. Oleh karena itu, GAPKI menilai keseimbangan antara kebutuhan domestik dan ekspor harus dijaga dengan hati-hati.
Baca Juga: Ekspor Sawit Indonesia ke India Turun 27% per Juni 2025, Gapki Ungkap Penyebabnya
Selanjutnya: Bauran EBT Sentuh 16% per September 2025, Transisi Energi Masih Penuh Tantangan
Menarik Dibaca: Token SUN Melejit 33%, Masuk Top Gainers saat Pasar Kripto Turun Tajam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News