Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerapan mandatori biodiesel 50 (B50) atau bahan bakar untuk mesin diesel yang diolah dari campuran 50% solar dan 50% minyak sawit menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) perlu diterapkan secara fleksibel.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian ESDM, telah menargetkan B50 dijalankan pada tahun 2026 setelah sebelumnya B40 diterapkan pada awal tahun 2025.
"Di tahun 2026 kita bisa masuk ke B50. Di 1 Januari 2025 kita sudah B40. Jadi kalau B50 langsung kita lakukan di 2026, insyaallah tidak ada lagi kita melakukan impor solar," ungkap Bahlil dalam paparannya saat rapat kerja bersama Komisi XII DPR RI, Senin (02/12).
Namun, menurut Ketua Gapki Eddy Martono, penerapan mandatori B50 ini seharusnya dapat mempertimbangkan harga Crude Oil atau minyak mentah dunia dan harga Crude Palm Oil (CPO) global.
"Sebaiknya mandatori biodiesel melihat kondisi produksi dan harga minyak bumi yang fluktuatif. Juga harga minyak sawit yang saat ini cenderung naik," ungkap Eddy saat dihubungi Kontan, Senin (21/07).
Baca Juga: Target Penerapan B50 Berpotensi Geser, Disparitas Harga CPO dan BBM Jadi Kendala
Memang, jika melihat data harga CPO, pada Jumat (18/7) lalu tercatat adanya kenaikan mingguan, tiga minggu berturut-turut.
Kontrak berjangka minyak sawit acuan untuk pengiriman Oktober di Bursa Malaysia Derivatives pun naik 2,52 persen menjadi MYR4.316 ringgit per ton pada penutupan Jumat. Secara mingguan, harga ini melonjak 3,40 persen dan mencatat penutupan tertinggi dalam 14 pekan terakhir.
Peningkatan harga CPO ini menurut Eddy dikarenakan adanya supply yang berkurang karena produksi dari produsen terbesar dunia yaitu Indonesia dan Malaysia mengalami stagnansi.
"Karena produksi dari produsen terbesar yaitu Indonesia dan Malaysia stagnan, sebaiknya flexible mandatory (B50)," katanya.
Kenaikan harga CPO global dinilai akan menjadi beban bagi besar biaya insentif B50 kedepannya. Semakin besar disparitas atau perbedaan dari harga CPO dan BBM, maka semakin besar pula insentif yang harus dikeluarkan pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDB).
Di mana, dana insentif ini berasal dari ekspor CPO dan turunannya. Eddy di awal menyebut masalah yang masih dihadapi oleh industri sawit adalah stagnansi produksi yang masih terjadi hingga akhir tahun ini.
Untuk program B40 saja, Indonesia membutuhkan sekitar 13,5 juta ton bahan baku CPO. Sedangkan untuk B50 Gapki memprediksi kebutuhan akan melonjak menjadi 17,4 juta ton.
"Kalau ditambah kebutuhan pangan maka B50 dan konsumsi dalam negeri akan meningkat menjadi 28,4 juta ton. Artinya ekspor akan menurun menjadi sekitar 25 juta ton karena produksi kita juga stagnan," jelasnya.
Baca Juga: Pungutan Ekspor CPO Naik Jadi 10%, Kementerian ESDM: Dana Kompensasi B50 Tercukupi
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengungkap penerapan B50 belum bisa ditentukan akan terlaksana pada 2026.
"Apakah 2026 kita mulai dengan B50? Itu belum kita tentukan, jadi harus kita lihat lagi, B50 butuhnya berapa (biodiesel)," ungkap Eniya di Jakarta, Kamis (17/07).
Ia menambahkan, terjadi disparitas harga yang cukup tinggi akibat naiknya harga CPO global dan turunnya harga BBM.
"Kita sudah mulai berpikir menuju B50, walaupun di sini masih banyak kajian yang diperlukan. Karena harga CPO naik, tapi BBM nya turun, sehingga disparitas harganya naik," ungkapnya.
Ia menambahkan, terdapat opsi untuk penerapan B50, salah satunya menerapkan mandatori ini di wilayah Jakarta terlebih dahulu.
"Perlu persiapan waktu, gak mungkin ujug-ujug B50, atau B50 hanya di Jakarta doang, tentu opsi-opsi itu harus dikaji lebih lanjut," jelasnya.
Baca Juga: ESDM: Penerapan Mandatori B50 Belum Bergeser dari Target
Selanjutnya: Unjuk Rasa Driver Ojol, Forum Konsumen Sebut Tuntutan Layak Dipertimbangkan
Menarik Dibaca: Sisa 11 Hari Lagi, Tiket Diskon Kereta Api Sudah Terjual 89%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News