Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pelaku industri sawit optimistis pasar ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia masih terjaga meski menghadapi sejumlah tantangan di pasar global.
Sejumlah tantangan hadir, di antaranya pengakuan Uni Eropa (UE) terhadap sertifikasi Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) yang menambah daya saing CPO asal negeri jiran tersebut.
Selain itu, pada akhir Agustus lalu India, pasar ekspor terbesar Indonesia, memborong CPO Kolombia dan Guatemala dengan harga yang lebih murah hingga US$ 10 per ton dari CPO Indonesia dan Malaysia.
Baca Juga: Produksi CPO Naik 50% Semester I, Cisadane Sawit (CSRA) Beberkan Tantangan ke Depan
Asal tahu saja, India masih menjadi negara tujuan ekspor utama CPO Indonesia, dengan rata-rata volume ekspor dalam lima tahun terakhir mencapai 4,48 juta ton.
Soal daya saing dengan CPO Malaysia, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono bilang CPO Indonesia masih punya nilai tambah.
Kendati sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) belum diakui UE, eksportir Indonesia hampir seluruhnya telah mengantongi sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) yang sudah lama diakui EU.
“Dengan sertifikasi itu, ekspor minyak sawit Indonesia masih cukup aman. Walaupun demikian, pemerintah bersama pelaku usaha terus mengupayakan agar ISPO bisa diterima, baik di EU maupun negara-negara importir lainnya,” kata Eddy kepada Kontan, Senin (15/9/2025).
Soal pasar India, Eddy bilang kebutuhan minyak sawit negara tersebut masih sangat tinggi. Sebagai gambaran, BPS mencatat pada 2023 India mengimpor 5,41 juta ton dari Indonesia. Angka ini memang turun menjadi 4,29 juta ton pada 2024, namun tetap menunjukkan volume yang besar.
Sementara itu, produksi minyak sawit Kolombia pada 2024 hanya sebesar 1,72 juta ton, dengan total ekspor 409 ribu ton. “Produksi Kolombia saja tidak mencukupi kebutuhan India, sehingga Indonesia masih relatif aman,” jelas Eddy.
Meski demikian, diversifikasi pasar tetap digencarkan. Pemerintah bersama pelaku usaha terus membuka akses ke wilayah potensial. Dengan risiko daya saing di pasar EU, Eddy bilang pasar alternatif yang bisa disasar CPO Indonesia adalah Afrika.
Secara keseluruhan pasar ekspor memegang peran penting untuk industri CPO Indonesia. Apalagi, pembiayaan biodiesel menggunakan dana Pungutan Ekspor (PE), bukan APBN. Jika ekspor berkurang, penerimaan PE yang menurun bisa mengganggu implementasi program biodiesel.
“Untuk mengurangi tekanan, bauran biodiesel sebaiknya tidak dinaikkan dulu sampai produksi memungkinkan,” sebutnya.
Di sisi lain, harga CPO sebagai komoditas yang sensitif dengan isu global membuat harganya fluktuatif. Namun, pelaku industri dalam negeri sudah mengantisipasi pola ini.
“Rasanya ekspor tidak turun signifikan, kemungkinan masih sama seperti tahun lalu. Bahkan, kalau harga minyak sawit tidak lebih mahal dari minyak nabati lain seperti pada 2024, ekspor bisa naik sedikit,” ungkap Eddy.
Baca Juga: BWPT Geber Bisnis! Siapkan Belanja Rp 1,6 Triliun dan Raih Harga Premium CPO di Eropa
Selanjutnya: Serangan Israel ke Qatar Dibawa ke Debat Mendesak Dewan HAM PBB
Menarik Dibaca: Commuter Line Basoetta Diskon Rp 17.000, Ini Syarat dan Ketentuannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News