Reporter: Handoyo | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Tren penurunan harga kakao sepanjang tahun ini mengakibatkan penyusutan lahan perkebunan kakao nasional. Keuntungan yang terus merosot membuat banyak petani kakao beralih untuk menanam komoditi lain seperti sawit dan karet.
"Mulai beralihnya petani kakao ke jenis tanaman lain sudah terjadi sejak tiga tahun lalu," kata Zulhefi Sikumbang, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) kepada KONTAN (1/12).
Faktor pelemahan harga kakao karena pasokan kakao internasional melimpah, sementara krisis Eropa membuat permintaan melemah.
Mengutip data Bloomberg, harga kakao di bursa London untuk pengiriman Desember 2011 mencapai US$ 2.262 per ton. Harga ini terus melandai sejak bulan Juli yang mencapai US$ 3.288 per ton.
Penurunan harga kakao di bursa internasional ternyata berdampak pada harga jual biji kakao di tingkat petani. Jika tiga bulan lalu, harga kakao masih di kisaran Rp 25.000 per kg-Rp 26.000 per kg, kini turun 34,61% menjadi Rp 17.000 per kg. Maklum produksi kakao Indonesia hanya menyumbang 10% dari kebutuhan kakao dunia yang mencapai 4 juta ton.
Sebagai catatan produksi biji kakao Pantai Gading, mengalami kenaikan 23% dari tahun lalu yang hanya 1,3 juta ton, tahun ini meningkat menjadi 1,6 juta ton. Sedangkan di Ghana, dari produksi biji kakao tahun lalu sebanyak 800.000 ton, tahun ini melonjak menjadi 1 juta ton.
Dengan kondisi harga kakao yang terus menurun, Zulheifi memperkirakan dalam jangka waktu lima tahun mendatang sentra-sentra kakao akan terus menyusut. Ia mencontohkan, sentra kakao yang berada di Sumatera, dengan luas lahan mencapai 200.000 hektare (ha), akan berkurang 50% pada 2016 nanti.
Ia membandingkan, jika dalam 1 hektare (ha) lahan kakao hanya memperoleh keuntungan Rp 8,5 juta per tahun. Menanam komoditi lain seperti sawit petani mampu mengantongi keuntungan hingga Rp 25 juta per tahun, dan bahkan untuk karet, keuntungan yang didapatkan bisa lebih tinggi lagi yakni Rp 33 juta per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News