Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Pantulan harga minyak mentah ke atas level US$ 30 per barel rupanya cuma sesaat. Catatan Bloomberg pada Sabtu (13/2) kemarin, harga kontrak minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) kembali tersungkur. Harga minyak WTI untuk pengiriman Maret 2016 di pasar New York Mercantile Exchange tercatat US$ 29,44 per barel.
Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah tak bisa berbuat banyak. Hingga kini, pemerintah belum juga merealisasikan insentif yang akan diberikan kepada kontraktor kontrak kerjasama (KKKS). Padahal sebelumnya Indonesian Petroleum Association (IPA) telah mengusulkan sejumlah poin insentif untuk membantu KKKS di tengah penurunan harga minyak.
I.G.N Wiratmaja Puja, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), beralasan, pemerintah harus berkoordinasi dengan banyak pemangku kepentingan alias stakeholders. "Membuat regulasi harus berkoordinasi dengan banyak stakeholders," ujarnya kepada KONTAN, Jumat (12/2).
Alih-alih memberikan insentif, pemerintah mengimbau perusahaan hulu minyak dan gas (migas) untuk melakukan efisiensi superketat dalam menjalankan roda bisnis. Selain itu, pemerintah meminta para pelaku usaha agar tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan.
Direktur Pembinaan Program Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agus Cahyono Adi mengatakan, rata-rata biaya produksi migas saat ini US$ 30 per barel. Bahkan ada pula lapangan migas yang berbiaya produksi hingga US$ 50 per barel. Alhasil, dengan harga minyak di bawah US$ 30 per barel seperti saat ini, pemerintah sadar jika pelaku usaha menderita.
Namun, tak cuma pelaku usaha yang menderita. Pemerintah juga ikut terdampak kondisi itu. "Pemerintah tidak dapat apa-apa, dong, dari kegiatan usaha hulu. Pendapatan negara dari operasi kegiatan usaha hulu migas bisa nol," kata Agus, di kantor Dewan Pers, Minggu (14/2).
Sekadar berkilas balik, sekitar dua tahun yang lalu, pemerintah ikut sumringah dengan perkembangan bisnis hulu migas. Maklum, kala itu harga minyak berkisar US$ 100 per barel.
Untuk itu, pemerintah berharap, harga minyak dunia bisa kembali mendaki minimal hingga mencapai US$ 35 per barel atau bisa mencapai US$ 50 per barel. Dengan asumsi harga minyak US$ 50 per barel, perusahaan produsen migas bakal cukup nyaman melakukan kegiatan produksi dan eksplorasi lapangan migas.
Salah satu kontraktor minyak, PT Pertamina menyatakan telah menerapkan strategi efisiensi. Itu adalah strategi perusahaan pelat merah tersebut agar tetap bisa mendapatkan imbal hasil yang cepat alias quick yield return dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas.
Di samping itu, Pertamina juga berdiskusi dengan pemerintah agar tetap bisa bertahan meski belum ada insentif. "Kami biasa berdiskusi dan dialog bersama pemerintah, apalagi SKK Migas berada di bawah ESDM," ujar Wianda Pusponegoro, Vice President Communications PT Pertamina (Persero).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News