kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,02   -8,28   -0.91%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Harga Minyak Mentah Melambung, Industri TPT Hulu-Hilir Tertekan


Selasa, 19 April 2022 / 22:05 WIB
Harga Minyak Mentah Melambung, Industri TPT Hulu-Hilir Tertekan
ILUSTRASI. Salah satu dukungan diberikan dalam bentuk One Stop Solution bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) oleh Balai Besar Tekstil (BBT) selaku satu unit kerja BSKJI di Bandung.


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Harga minyak mentah dunia saat ini masih tinggi, berada di atas US$ 100 per barrel. Kenaikan harga minyak dunia ini turut berdampak kurang baik terhadap industri hulu dan hilir Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, kenaikan harga minyak mentah menyebabkan kenaikan harga bahan baku utama Polyester dan Acetic Acid sebagai bahan penolong utama Rayon. 

“Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami, karena untuk menjaga output produksi, kita perlu tambahan modal kerja,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (19/4). 

Kendati begitu, hingga saat ini industri hulu tekstil tidak mengurangi volume produksi. Asal tahu saja, rata-rata utilisasi polyester di level 85% dan rayon di 90%, masih stabil. Adapun kenaikan harga bahan baku diakui Redma  diteruskan ke harga jual produk.

Baca Juga: Kemenperin Targetkan Industri Petrokimia Indonesia Jadi Peringkat Satu di ASEAN

Selain tertekan oleh kenaikan harga minyak mentah dunia, Redma mengatakan, industri hulu tekstil juga harus menghadapi tantangan lainnya, seperti rencana kenaikan tarif listrik PLN sebagai imbas kenaikan harga batubara.

Menurutnya tidak adil jika industri dalam negeri dibebankan harga internasional untuk barang tambang yang berasal dari bumi Indonesia, terlebih menurutnya kebijakan ini hanya menguntungkan segelintir kelompok saja 

Selanjutnya, tantangan lain yang dihadapi oleh industri hulu tekstil ialah kenaikan ongkos logistik yang menambah deretan hal yang akan mendorong inflasi. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Rizal Tanzil Rakhman mengatakan, beberapa bahan baku hilir tekstil merupakan turunan dari minyak bumi, seperti polyester. Menurut pantauan Rizal terakhir di lapangan, saat ini harga polyester sudah naik 20%-30% dari harga normal. 

Tentu jika biaya polyester naik, harga benang juga akan naik, otomatis harga kain dan pakaian ikut terkerek. Sejatinya kenaikan harga minyak mentah ini berdampak besar pada industri garmen lokal. Sedangan untuk garmen yang berorientasi ekspor sudah punya kontrak atau order dari jauh-jauh hari. 

Baca Juga: Investasi Naik, Indonesia Bisa Jadi Produsen Petrokimia Terbesar di Asia Tenggara

“Kalau harga bahan baku dalam hal ini polyester naik, tentu saja akan memengaruhi harga jual produk hilir tekstil sehingga harus ada penyesuaian harga,” jelasnya saat dihubungi terpisah. 

Kenaikan harga pakaian ini bersamaan dengan momentum Ramadhan dan Idul Fitri di mana permintaan seharusnya lebih tinggi dibandingkan hari normal. Namun, penyesuaian harga ini dikhawatirkan Rizal menghambat penjualan lantaran pasar tidak bisa menyerap produk tersebut. 

Maka itu, pelaku usaha masih wait and see untuk memasok pakaian dalam jumlah yang besar. Produsen harus menghitung dengan cermat volume produksinya untuk mengurangi dead stock di lapangan. 

“Kalau sekarang, rata-rata utilisasi pabrik garmen di level 70%-80% sedangkan biasanya pada momentum lebaran (sebelum pandemi)  utilisasinya full 100%,” ungkapnya. 

Faktor lain yang menjadi tantangan industri hilir tekstil ialah, daya beli masyarakat yang masih belum sepenuhnya pulih imbas pandemi Covid-19. Menurut Rizal, beban masyarakat saat ini banyak, seperti harus menghadapi kenaikan harga bensin, minyak, dan kebutuhan lainnya. 

Menurut Rizal, saat ini industri tekstil masih dalam masa recovery. Seyogyanya, pemerintah memberikan dukungan terhadap ekosistem yang mendukung pemulihan tersebut. “Dengan adanya kenaikan PPN menjadi 11% kemudian ada rencana kenaikan tarif listrik dan kebutuhan lainnya, ini menjadi faktor yang justru anti klimaks dari pemulihan yang diharapkan,” kata Rizal. 

Dia berharap pemerintah bisa turut berkontribusi agar pemulihan sektor TPT bisa berjalan mlus sehingga sektor yang menyerap banyak tenaga kerja ini bisa terus membaik. Toh ujungnya masyarakat punya kemampuan daya beli yang cukup karena punya pekerjaan. 

Baca Juga: Para Pelaku Industri TPT Mengkritik Rencana Impor Produk dari Bangladesh

Setali tiga uang, industri alas kaki juga ikut terdampak layaknya industri TPT. Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Firman Bakrie mengatakan kenaikan harga minyak pasti berpengaruh terhadap industri alas kaki. Selain kenaikan biaya-biaya, yang dihawatirkan adalah penurunan daya beli.

“Kenaikan harga yang mempengaruhi biaya produksi akan mempengaruhi biaya jualnya. Tetapi tantangannya selama Pandemi dan pembatasan bahan baku impor telah mengakibatkan kenaikan harga. Sehingga kenaikan harga lagi akan semakin menekan penjualan,” ungkap Firman. 

Di sisi lain, tantangan lainnya datang dari lanjutan perang Rusia-Ukraina yaitu terkait deglobalisasi. Menurutya, perlu dukungan pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara dengan daya tarik investasi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×