Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan harga minyak mentah global akibat konflik Israel–Iran menjadi pukulan bagi Indonesia yang masih berstatus sebagai negara net importir minyak. Di tengah situasi ini, percepatan swasembada energi dinilai makin mendesak.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Fathul Nugroho menilai, momentum saat ini perlu dimanfaatkan untuk mengejar target swasembada energi seperti yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto.
Baca Juga: Konflik Iran-Israel Meningkat, Harga Minyak Dunia Makin Bergejolak
“Kondisi ini justru harus menjadi momentum Indonesia mempercepat agenda swasembada energi. Langkah Menteri ESDM Bapak Bahlil Lahadalia dalam mendorong peningkatan lifting minyak dan pengembangan blok-blok potensial seperti Rokan, Cepu, Warim, dan Buton patut diapresiasi,” ujar Fathul kepada Kontan.co.id, Senin (16/6).
Fathul mengungkapkan, Indonesia masih mengimpor sekitar 813 ribu barel minyak mentah dan BBM per hari.
Kenaikan harga global akan berdampak langsung terhadap neraca migas dan APBN, apalagi APBN 2025 hanya mengasumsikan harga ICP di level US$ 82 per barel.
“Saat ini harga pasar bergerak menuju US$ 88–90 per barel. Kenaikan US$ 1 saja bisa menambah beban subsidi dan kompensasi hingga Rp 1,5 triliun per tahun,” ungkap Fathul.
Ancaman Stagflasi Mengintai
Data Refinitiv menunjukkan, harga minyak Brent dan WTI pada pertengahan Juni 2025 melonjak masing-masing 10,74% dan 11,08% secara bulanan, dipicu kekhawatiran pasar atas eskalasi konflik Timur Tengah.
Baca Juga: Tiga Dampak Negatif untuk Indonesia Jika Harga Minyak Dunia Terus Naik
Menurut ekonom dan pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat, kenaikan harga minyak bukan sekadar angka di pasar, melainkan ancaman riil bagi ekonomi domestik.
“Ini akan berdampak pada biaya produksi di hampir semua sektor, mendorong inflasi, dan melemahkan daya beli masyarakat. Potensi stagflasi menjadi ancaman nyata jika harga minyak tembus US$ 100 per barel,” ujarnya.
Achmad menyebut dunia memang memiliki cadangan minyak strategis, seperti yang dimiliki Badan Energi Internasional (IEA) sebesar 1,2 miliar barel.
Namun, dengan batas penggunaan global hanya 100 juta barel per hari, ruang manuver pasar tetap terbatas.
“Pasar sangat sensitif. Jika konflik berlarut, risiko gangguan suplai bisa meningkat drastis. Inilah saatnya Indonesia serius membangun ketahanan energi nasional,” tandas Achmad.
Selanjutnya: Ketahui Nilai Kekayaan Bersih yang Menentukan Kelas Atas, Menengah, dan Bawah
Menarik Dibaca: Cara Login BPJS Ketenagakerjaan Terbaru 2025 Lewat Aplikasi, Coba Solusi Ini!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News