Reporter: Fahriyadi | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (AS) telah memukul banyak industri terutama yang menggunakan bahan baku impor, tak terkecuali industri farmasi.
Direktur eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi (GP Farmasi), Darodjatun Sanusi mengatakan, perusahaan farmasi sedang melakukan wait and see terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah.
Untuk itu, dia memastikan, pihaknya tidak akan langsung menaikkan harga obat. "Pergerakan rupiah sudah berubah 20%, tetapi sejauh ini harga obat belum naik karena perusahaan farmasi masih menggunakan stok bahan baku yang diimpor sebelumnya," ujar Darodjatun, Rabu (28/8).
Menurutnya, kalau perusahaan farmasi mengimpor bahan baku baru berarti kemungkinan mereka akan mengubah harga obat. Sebab, kata dia, bahan baku impor obat mencapai 30%-70%.
Hal ini diperkirakan menambah beban pokok penjualan dari perusahaan naik 6%. "Industri farmasi sedang mempertimbangkan fluktuasi nilai kurs, apakah akan berlangsung terus-menerus hingga akhir tahun atau tidak," imbuh Darodjatun.
Bahan baku obat yang diimpor perusahaan itu bervariasi mulai dari India, China, Jepang, Korea, dan juga Eropa. Namun, Darodjatun memastikan harga bahan baku impor di negara asal tidak mengalami kenaikan dan ini murni soal nilai kurs.
"Anggaran perusahaan disusun dengan asumsi nilai tukar Rp 9.300 per dollar dan toleransi peningkatan kurs hanya sampai 7% hingga Rp 9600-Rp 9700 per dollar dan itu adalah kurs ideal," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News