Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pertumbuhan sektor properti pada tahun 2015 diperkirakan tetap melambat, dan tak ada perubahan signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, seiring transisi dan reformasi pemerintahan baru yang sedang berlangsung.
"Ada tekanan temporer yang menghantam sektor properti, terkait turunnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dan aturan rasio kredit atau loan to value (LTV) yang diberlakukan sejak 2013 lalu," tutur Analis PT ICRA Indonesia, Setyo Wijayanto, kepada Kompas.com, di Jakarta, Kamis (9/4).
Selain itu, revisi peraturan perpajakan atas transaksi properti dalam waktu dekat juga menjadi tantangan berat, dan akan semakin memperlambat pertumbuhan sektor properti. Setyo memprediksi, revisi aturan perpajakan ini akan menekan penjualan (marketing sales).
Penjualan bakal mengalami penurunan pertumbuhan menjadi rerata 7%. Khusus untuk segmen apartemen, pertumbuhan unit terjual di wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jadebotabek) sudah menurun menjadi sekitar 13,2% pada 2013. Itu pun karena masih didukung oleh pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR), dan kredit pemilikan apartemen (KPA) yang mencapai 26,6%.
"Tahun ini pertumbuhan penjualan tidak akan lebih baik dengan tahun 2014. Tahun lalu, ekspansi KPR dan KPA turun menjadi 12,8%, terutama disebabkan oleh aturan kredit yang ketat, sehingga memengaruhi penjualan apartemen sekitar 0,9% lebih rendah menjadi 12,3%," papar Setyo.
Harga tinggi
Mempertimbangkan kondisi tahun lalu, kata Setyo, tahun ini ekspansi KPR dan KPA bakal stagnan karena bank melihat realisasi revisi aturan perpajakan, dan akan menyesuaikan dengan peraturan baru tersebut.
Untuk diketahui, pemerintah berencana merevisi tiga aturan perpajakan dalam waktu dekat yakni pajak bumi dan bangunan (PBB), PPH 22 (Pajak Penghasilan), dan PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah).
Jika revisi aturan perpajakan disetujui, harga properti perumahan akan semakin mahal. Karena, mengacu pada histori sektor properti, pengembang cenderung akan membebankan kenaikan pajak ini kepada konsumen.
"Kenaikan harga justru berpotensi menekan permintaan dan penawaran sehingga dapat menyebabkan perlambatan sektor properti. Karena belum ada batasan yang jelas untuk produk perumahan apakah betul seharga Rp 2 miliar yang akan dikenakan PPnBM atau tidak. Sementara, rumah seharga ini mudah ditemui di Jadebotabek," tandas Setyo.
Dampak ikutannya, lanjut Setyo akan sangat besar. Termasuk terhadap pendapatan, rencana belanja modal, dan juga harga saham para emiten properti.
Saat ini saja, sebagai dampak pemberlakuan LTV dan melemahnya perekonomian Nasional yang tumbuh hanya 5,2 persen pada 2014 lalu menyebabkan penjualan (marketing sales) para emiten turun signifikan.
PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) contohnya. Dalam siaran pers yang dikirimkan kepada Kompas.com, melalui surel pada Jumat (10/4), penjualan marketing perseroan ini anjlok tajam menjadi Rp 939,7 miliar per kuartal I 2015. Sementara pencapaian penjualan marketing periode yang sama tahun lalu masih sebesar Rp 1,828 triliun. (Hilda B Alexander)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News