Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia mendapat pengurangan tarif resiprokal atau tarif timbal balik dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi sebesar 19% dari semula 32%. Namun ada syaratnya, Indonesia harus mengimpor beberapa komoditas dari negara Paman Sam, untuk menyeimbangkan neraca perdagangan.
Dalam pernyataannya melalui akun Truth Social, Selasa (15/07), Trump menyebut komoditas yang diimpor termasuk komoditas energi, produk pertanian hingga pesawat Boeing, produk pesawat buatan AS.
"Indonesia telah berkomitmen untuk membeli (komoditas) energi AS senilai US$ 15 miliar, produk pertanian Amerika senilai US$ 4,5 miliar, dan 50 Boeing Jet, sebagian besar adalah pesawat (Boeing) 777," ungkap Trump melalui akun Truth Social, Selasa (15/07).
Dari beberapa di atas, komoditas energi memiliki nilai impor dengan angka tertinggi yaitu senilai US$ 15 miliar atau setara dengan Rp 244,38 triliun (asumsi kurs US$ 1 = Rp 16.291).
Baca Juga: Prabowo Akan Bertemu Donald Trump pada September Mendatang, Bahas Apa?
Menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira, meski berhasil menurunkan tarif, harus ada timbal balik lain yang dilakukan Indonesia.
Khususnya impor sektor energi dalam bentuk minyak mentah (crude oil), Liquefied Petroleum Gas (LPG) dan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang akan meningkatkan anggaran subsidi energi yang harus dikeluarkan pemerintah.
"Yang harus dimonitor adalah pelebaran defisit migas, menekan kurs rupiah dan menyebabkan postur subsidi RAPBN 2026 untuk energi meningkat tajam," kata dia kepada Kontan, Rabu (16/07).
Bhima menyebut, jika menggunakan alokasi subsidi energi 2026 yang sedang diajukan pemerintah senilai Rp 203,4 triliun, ini tidak cukup.
"Setidaknya butuh Rp 300 hingga Rp 320 triliun. Apalagi ketergantungan impor BBM dan LPG Indonesia, makin besar," tambahnya.
Bhima juga mengatakan, dengan outlook pelebaran defisit migas, sudah saatnya Indonesia mempercepat transisi dari ketergantungan fosil.
"Ketergantungan impor minyak sudah membebani APBN, dan ada kekhawatiran ujungnya Indonesia harus beli minyak dari AS lebih mahal dari harga pasar karena terikat hasil negosiasi dagang ini," jelasnya.
Secara keseluruhan, Bhima bilang, tarif 19% untuk barang ekspor Indonesia ke AS, sementara AS bisa mendapat fasilitas 0% sebenarnya memiliki risiko tinggi bagi neraca dagang dalam negeri.
"Disatu sisi memang ekspor produk alas kaki, pakaian jadi, CPO, dan karet diuntungkan dengan tarif 19%. Pabrik yang tadinya mau relokasi ke Vietnam karena tarifnya lebih rendah, bisa jadi menunda rencana pindah. Meskipun pembahasan detil mengenai transhipment masih belum jelas," ungkapnya.
Baca Juga: Trump Turunkan Tarif Impor Jadi 19%, Prabowo Akui Negosiasi Alot
Jika merujuk pada komoditas yang disebut Trump, sektor migas, produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia (gandum sejenis), serta produk farmasi, maka ke depan, sangat besar potensi produk-produk ini membengkak impornya ke Indonesia.
Sebagai gambaran, sepanjang 2024, total impor lima jenis produk di atas telah mencapai US$ 5,37 miliar atau setara dengan Rp 87,3 triliun.
Selanjutnya: IHSG Menguat 8 Hari Beruntun, Ada Net Sell Asing Rp 1,1 Triliun Hari Ini (16/7)
Menarik Dibaca: Tayang September, Official Teaser Trailer Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah Dirilis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News