kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.443.000   4.000   0,28%
  • USD/IDR 15.405   0,00   0,00%
  • IDX 7.812   13,98   0,18%
  • KOMPAS100 1.184   -0,59   -0,05%
  • LQ45 959   0,88   0,09%
  • ISSI 227   0,13   0,06%
  • IDX30 489   0,88   0,18%
  • IDXHIDIV20 590   1,24   0,21%
  • IDX80 134   -0,05   -0,04%
  • IDXV30 139   -1,25   -0,90%
  • IDXQ30 163   0,24   0,15%

HBA Masuk dalam Formula Penyesuaian Tarif Listrik, Angin Segar Bagi Energi Terbarukan


Minggu, 20 Agustus 2023 / 15:28 WIB
HBA Masuk dalam Formula Penyesuaian Tarif Listrik, Angin Segar Bagi Energi Terbarukan
ILUSTRASI. Foto udara kapal tongkang bermuatan batubara terdampar di muara Sungai Batanghari yang sudah mengalami pendangkalan di Kampung Laut, Tanjung Jabung Timur, Jambi, Selasa (1/8/2023). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/nym.


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai masuknya harga batubara acuan (HBA) ke dalam formula penyesuaian tarif tenaga listrik (tariff adjusment) akan menjadi angin segar bagi harga setrum dari pembangkit energi baru terbarukan (EBT).  

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menjelaskan, pihaknya menyambut baik peraturan baru di mana pemerintah memasukkan harga batubara acuan (HBA) ke dalam formula penyesuaian tarif tenaga listrik bagi pelanggan non-subsidi PT PLN. 

Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 8 Tahun 2023, formula pembentukan harga penyesuaian tarif listrik akan dihitung berdasarkan empat komponen yakni kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah, Indonesia Crude Price (ICP), inflasi, dan HBA. 

Menurutnya, harga patokan minyak mentah Indonesia (ICP) sudah tidak lagi terlalu relevan terhadap pembentukan harga listrik saat ini. 

Baca Juga: OJK Sebut Ada Kegamangan Terkait Kredit Perbankan Untuk PLTU Batubara

“Volume bahan bakar minyak atau diesel di dalam produksi tenaga listrik sudah semakin turun. Hari ini kurang dari 2% saja produksi listrik berasal dari diesel karena banyak upaya untuk melakukan substitiusi diesel ke gas maupun energi terbarukan,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (20/8). 

Ke depannya dalam setahun hingga dua tahun, Fabby melihat penggunaan BBM di dalam pembangkit juga akan semakin menurun. Maka itu, perhitungan ICP ke dalam harga listrik sudah tidak lagi terlalu relevan. Justru, lanjutnya, saat ini pembangkit listrik di Indonesia mayoritas atau hampir 70% bersumber dari pembangkit listrik tenaga batubara. 

Selain tarif listrik bisa lebih relevan dengan kondisi saat ini, Fabby menilai, masuknya formulasi HBA ke dalam pembentukan tarif setrum akan membuat PT PLN lebih transparan dalam menghitung dampak batubara pada produksi tenaga listriknya. 

Pasalnya, selama ini tarif listrik fosil berlindung di balik harga domestic market obligation (DMO) batubara yang dipatok pada US$ 70 per ton. Sedangkan lazimnya, harga batubara acuan yang mengikuti harga pasar global, nominalnya lebih tinggi dibandingkan DMO. 

Misalnya saja, saat ini HBA pada Agustus 2023 untuk batubara dengan kesetaraan kalori 6.322 kcal/kg, total moisture 12,26%, sulphur 0,66%, dan ash 7,94% berada di US$ 179,90 per ton. Jika dibandingkan dengan DMO tentu selisihnya jauh sekali. 

Sejalan dengan itu, jika nantinya pemerintah mendorong PLN untuk melakukan efisiensi, paling tidak perusahaan setrum pelat merah itu harus mencari cara demi menurunkan konsumsi batubaranya. Salah satunya upaya yang bisa ditempuh ialah memanfaatkan teknologi co-firing yakni memanfaatkan biomassa untuk campuran batubara di PLTU. 

Fabby memaparkan, saat ini harga biomassa untuk PLTU di Indonesia dipatok US$ 70 per ton, atau disesuaikan dengan harga batubara DMO untuk sektor kelistrikan dengan nilai kalori 6.300 kcal per kilogram (kg). 

Baca Juga: Hitung Harga Batubara, Kementerian ESDM Ubah Formula Penyesuaian Tarif Tenaga Listrik

Fabby menilai, dengan menggunakan HBA sebagai referensi penyesuaian tarif listrik, harga biomassa untuk campuran batubara menjadi lebih masuk akal. 

“Karena dampak perubahan formulasi ini akan menghitung apple to apple dengan opsi energi lain khususnya energi terbarukan. Kami harapkan bauran energi dalam sistem PLN bisa bertambah dengan adanya perubahan ini,” ujar Fabby. 

Dampak Perhitungan HBA pada Tarif Listrik 

Fabby menjelaskan, dampak formulasi baru ini akan memberikan angin segar juga bagi PLN. Jika HBA naik, PLN bisa melakukan penyesuaian tarif (tariff adjusment) lebih tinggi. 

Nah, seiring dengan harga batubara yang masih kuat hingga saat ini, Fabby memungkinkan, tarif listrik untuk pelanggan non subsidi PLN bisa lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Pasalnya harga HBA per Agustus 2023 masih di kisaran US$ 179,9 per ton atau lebih dua setengah kali lipat lebih tinggi dibandingkan DMO yang senilai US$ 70 per ton. 

Meski demikian, menurut IESR, sudah saatnya tarif listrik tidak lagi menggunakan DMO. Supaya dapat merefleksikan biaya listrik yang sebenarnya. 

“Kerap kali PLN bilang listrik PLTU murah, padahal kalau harga batubaranya mengacu pasar tentu mahal. Berdasarkan laporan kami, kalau tanpa DMO harga rata-rata listrik PLTU sudah di atas US$ 10 cent per kWh hingga US$ 12 cent per kWh jika harga batubara di kisaran US$ 200 per ton,” terangnya. 

Dengan harga batubara acuan saat ini di kisaran US$ 179 per ton, tentu akan membuat harga listrik energi baru terbarukan (EBT) menjadi lebih kompetitif. Ambil contoh saja tarif listrik panas bumi yang dipatok di kisaran US$ 9 cent per kWh, tentu harga listriknya bisa bersaing dengan energi kotor.

Sebagai gambaran, PLTP kapasitas 10 MW, harga patokan tertingginya US$ 9,76 cent per kWh pada tahun pertama sampai ke 10. Sementara harga tahun ke 11 sampai 30 tarif listriknya akan turun menjadi US$ 8,30 cent per kWh.

Meski demikian, Fabby menilai, era batubara masih cukup panjang. Konsumsi batubara domestik masih akan tinggi hingga 2028-2030 karena permintaan dari captive power cukup besar. Selain itu, pihak industri juga masih membutuhkan pasokan listrik yang stabil dari PLTU. 

“Tren permintaan batubara PLN tetap akan naik karena masih banyak proyek PLTU dalam pipeline yang mesti dibangun. Jadi nanti penurunan permintaan batubara baru akan terjadi setelah 2030,” tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management Principles (SCMP) Mastering Management and Strategic Leadership (MiniMBA 2024)

[X]
×