Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi
Meski demikian, menurut IESR, sudah saatnya tarif listrik tidak lagi menggunakan DMO. Supaya dapat merefleksikan biaya listrik yang sebenarnya.
“Kerap kali PLN bilang listrik PLTU murah, padahal kalau harga batubaranya mengacu pasar tentu mahal. Berdasarkan laporan kami, kalau tanpa DMO harga rata-rata listrik PLTU sudah di atas US$ 10 cent per kWh hingga US$ 12 cent per kWh jika harga batubara di kisaran US$ 200 per ton,” terangnya.
Dengan harga batubara acuan saat ini di kisaran US$ 179 per ton, tentu akan membuat harga listrik energi baru terbarukan (EBT) menjadi lebih kompetitif. Ambil contoh saja tarif listrik panas bumi yang dipatok di kisaran US$ 9 cent per kWh, tentu harga listriknya bisa bersaing dengan energi kotor.
Sebagai gambaran, PLTP kapasitas 10 MW, harga patokan tertingginya US$ 9,76 cent per kWh pada tahun pertama sampai ke 10. Sementara harga tahun ke 11 sampai 30 tarif listriknya akan turun menjadi US$ 8,30 cent per kWh.
Meski demikian, Fabby menilai, era batubara masih cukup panjang. Konsumsi batubara domestik masih akan tinggi hingga 2028-2030 karena permintaan dari captive power cukup besar. Selain itu, pihak industri juga masih membutuhkan pasokan listrik yang stabil dari PLTU.
“Tren permintaan batubara PLN tetap akan naik karena masih banyak proyek PLTU dalam pipeline yang mesti dibangun. Jadi nanti penurunan permintaan batubara baru akan terjadi setelah 2030,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News