Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Harga Batubara Acuan (HBA) bulan Juni kembali melanjutkan tren penurunan menjadi US$ 81,48 per ton. Meski turun tipis sebesar 0,46% dari HBA Mei yang berada di angka US$ 81,86%, namun tren penurunan ini belum berhenti sejak September 2018 lalu.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan, penyebab tren penurunan HBA yang masih berlangsung ini antara lain karena kondisi pasar yang sudah kelebihan pasokan alias oversupply.
"Index ICI, Newcastle, dan Global Coal juga terus menurun. Bahkan Global Coal bulan lalu mencapai level US$ 81 metrik ton, sekarang sudah di level US$ 72," kata Hendra kepada Kontan.co.id, Senin (10/6).
Selain itu, sambungnya, faktor menurunnya demand (appetite) dari China juga berpengaruh antara lain karena meningkatnya kapasitas pembangkit hydroppower China, ditambah dengan menguatnya isu perang dagang dengan Amerika Serikat yang mendorong pelemahan mata uang.
Lebih lanjut, Hendra juga mengatakan bahwa kebijakan China yang masih mengurangi impor batubara dari Australia menjadi pemicu pelemahan indeks Newcastle dan Global Coal.
"Sementara itu impor batubara dari beberapa negara seperti Korea Selatan juga mengalami penurunan karena stok mereka masih cukup tinggi dan juga persaingan dari bahan bakar gas dan nuklir," terang Hendra.
Sebagai informasi, HBA Juni ini telah ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor 92 K/30/MEM/2019 tentang harga mineral logam acuan dan harga batubara acuan untuk bulan Juni tahun 2019.
Ada empat variabel yang membentuk HBA, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Global Coal Newcastle Index (GCNC), dan Platss 5900 dengan bobot masing-masing 25%. HBA diperoleh dari rata-rata keempat indeks tersebut pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6.322 kcal/kg GAR.
Sementara itu, menurut Ketua Indonesia Mining Institute Irwandy Arief, secara umum harga batubara di Asia masih dipengaruhi oleh kebijakan di China dan India. "Untuk kepentingan industri batubara dalam negerinya, China sepertinya masih menganut regulated price yag menjaga harga di angara US$ 61-81," kata Irwandy.
Sementara di India, kebijakan untuk mengurangi impor batubara secara bertahap tampaknya belum siap sepenuhnya direncanakan. Hal itu disebabkan oleh pengembangan energi alternatif yang masih belum sesuai rencana.
Irwandy mengingatkan, kecenderungan perusahaan-perusahaan batubara untuk menaikan jumlah produksi perlu diwaspadai. Irwandy memprediksi, meski terjadi tren penurunan, namun harga batubara pada tahun ini masih akan berada di rentang US$ 60-US$ 80 per ton.
"Apabila nafsu untuk menaikan produksi dapat dikontrol dengan perencanaan jangka panjang maka harga batubara masih akan bertahan pada rentang yang saya sebutkan. Paling tidak sampai akhir tahun ini," ungkapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum APBI Pandu P. Sjahrir mengatakan bahwa sentimen perang dagang antara China dan Amerika akan berdampak pada batubara Indonesia. Pandu pun memperkirakan, perang dagang ini secara jangka pendek memang akan memberikan dampak negatif.
Namun, pada jangka menengah, industri batubara di Indonesia bisa memanfaatkan momen perang dagang ini. Sebab, peluang industri di China untuk melebarkan investasinya ke Indonesia akan terbuka, sehingga bisa mendorong pertumbuhan industri dan meningkatkan permintaan batubara.
"Kalau Short term mungkin rugi, tapi medium term saya kira positif. Permintaan (batubara) pasti naik karena investasi industri tetap meningkat," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News