Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Umum BPP Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Akbar Himawan Buchari menyebut terdapat potensi para pengusaha menahan ekspansi usai berlakunya tarif resiprokal atau tarif timbal balik yang telah disepakati Presiden AS, Donald Trump dengan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto.
Tekanan semacam ini khususnya, menurut Akbar akan terjadi pada sektor padat karya.
"Industri tekstil, alas kaki, dan perikanan cenderung ketergantungan dari pasar Amerika," kata dia kepada Kontan, Rabu (16/07).
Ia menyebut, ekspor produk pakaian Indonesia ke Amerika mencapai 60%, disusul oleh furnitur 59%, produk olahan ikan 56%, hingga alas kaki yang mencapai 33%.
"Bila tarif tinggi diberlakukan, risiko penurunan permintaan akan mengguncang kinerja ekspor dan kelangsungan usaha," katanya.
Para pelaku usaha menurut dia, saat ini juga dihadapkan pada ketidakpastian global, yang terlihat dari adanya pelemahan indeks manufaktur (PMI).
Baca Juga: Tarif 0% untuk Produk AS Berpotensi Menggerus Pendapatan Bea Masuk Impor
"Data terbaru menunjukan PMI Manufaktur Indonesia turun ke 46,9 pada Juni 2025 dari 47,4 pada Mei 2025, hal ini menandakan kontraksi 3 bulan beruntun, melanjutkan kontraksi bulan April 2025 yang merupakan kontraksi paling tajam sejak Agustus 2021," jelasnya.
Selain itu, beban biaya produksi meningkat, mulai dari harga energi, bahan baku impor yang masih rentan fluktuasi nilai tukar, hingga kenaikan upah minimum yang belum diimbangi dengan perbaikan productivity gains.
"Kombinasi ini membuat pelaku industri semakin berhati-hati dan menahan ekspansi, memperlambat rekrutmen, dan fokus pada efisiensi dibanding mengambil risiko baru," ungkapnya.
Baca Juga: Kesepakatan Dagang RI-AS Berpotensi Bebani Neraca Dagang dan Pertumbuhan Ekonomi
Akbar juga menyebut, jika membandingkan neraca perdagangan kedua negara, defisit Indonesia kepada Amerika adalah sebesar US$ 19 miliar. Sedangkan paket impor yang ditawarkan Indonesia untuk menyeimbangkan defisit ini telah mencapai angka US$ 34 miliar.
"Ini (US$ 34 miliar) merupakan gabungan dari pembelian komoditas energi, agrikultur dan juga investasi yang mau dilakukan di AS. Seharusnya, itu sudah membalikkan neraca perdagangan," tambahnya.
Meski begitu, terkait detail komoditas yang akan dikirim ke dalam negeri, Akbar bilang pengusaha dalam negeri perlu melihat pengumuman dan kebijakan lanjutan dari pemerintah RI. Sebab, saat ini, terkait detail impor, baru Presiden Trump saja yang buka suara melalui Gedung Putih.
"Pengumuman ini masih sepihak (dari Trump). Lebih bijak jika kita menunggu pernyataan resmi dari Pemerintah RI," tuturnya.
Baca Juga: Negosiasi Tarif Impor AS Alot, Prabowo: Donald Trump Negosiator Keras
Selanjutnya: DJP Dalami Lonjakan Permohonan Restitusi Pajak di Beberapa Sektor
Menarik Dibaca: Dari Dokter hingga Influencer, Ini Tren Profesi Anak Versi AI Morinaga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News