Reporter: Leni Wandira | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan tarif bea masuk produk asal Indonesia ke Amerika Serikat dari 32% menjadi 19% oleh pemerintahan Presiden Donald Trump dinilai belum layak disebut sebagai kemenangan diplomatik. Pemerintah RI justru didorong untuk terus membuka ruang negosiasi agar tarif tersebut bisa ditekan lagi.
Pemerhati hubungan internasional dan investasi Zenzia Sianica Ihza menilai, Indonesia memberikan konsesi terlalu besar dibandingkan hasil yang diperoleh. Hal ini terutama mengingat adanya komitmen pembelian 50 unit pesawat Boeing dan produk energi AS dengan nilai transaksi mencapai Rp244 triliun.
“Kita memberi terlalu banyak, sementara tarif 19% masih tergolong tinggi dan membebani pelaku ekspor kita. Harusnya negosiasi ulang. Jangan puas dengan angka 19% karena itu belum mengembalikan posisi kita seperti sebelum badai tarif diberlakukan,” ujar Zenzia dalam keterangannya, Kamis (17/7).
Zenzia mengingatkan, selain tarif resiprokal 19%, masih ada tarif dasar 10% yang tetap berlaku. Artinya, secara keseluruhan, produk Indonesia tetap dikenai beban sekitar 29%.
“Ini bukan semata persoalan angka, tapi juga soal strategi negosiasi. Kita seharusnya punya posisi tawar kuat karena AS juga membutuhkan kita, baik di sektor aviasi maupun energi,” tambah Zenzia.
Baca Juga: Angin Positif Suku Bunga dan Tarif AS
Ia membandingkan posisi Indonesia dengan negara-negara lain yang juga menghadapi kebijakan proteksionisme Trump. China, misalnya, memilih strategi konfrontatif dengan mengenakan tarif balasan, sementara Vietnam mampu menjaga kepentingan domestik melalui diplomasi akomodatif namun tetap menjaga keuntungan nasional.
“Vietnam itu contoh menarik, mereka justru menarik relokasi industri dari China. Kita seharusnya belajar dari itu,” kata Zenzia.
Seperti diketahui, kebijakan tarif ini merupakan kelanjutan dari strategi ekonomi “America First” yang digaungkan Trump sejak kampanye 2016 lalu. Tarif dijadikan sebagai alat tawar untuk mengamankan kepentingan AS di tengah ketegangan dagang global.
Namun menurut Zenzia, Indonesia terkesan terlalu cepat mengambil posisi akomodatif. “Sayangnya kita langsung menerima, tanpa mengoptimalkan leverage yang kita miliki. Bukan berarti harus frontal, tapi tetap perlu memperjuangkan pengimbangan yang setara,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa penurunan tarif tersebut belum cukup signifikan untuk mendukung daya saing produk ekspor Indonesia. Beban tarif tinggi tersebut pada akhirnya bukan hanya berdampak bagi eksportir Indonesia, tetapi juga berisiko menciptakan tekanan inflasi di AS.
Lebih lanjut, kata dia, dalam jangka panjang ini akan jadi bumerang bagi AS. Harga barang impor dari Indonesia naik, dan pada akhirnya konsumen AS yang akan menanggung kenaikan harga. Dunia usaha akan membebankan kenaikan tarif ini ke konsumen dalam negeri Amerika Serikat.
Zenzia mendorong pemerintah Indonesia agar tetap melanjutkan negosiasi dengan Washington, dengan fokus pada diplomasi rasional dan strategi saling menguntungkan. “Jangan cepat puas. Ini belum selesai,” pungkasnya.
Baca Juga: Bangkitkan Industri Manufaktur, Pelaku Industri Apresiasi Negoisasi Tarif Impor AS
Selanjutnya: 7 Makanan yang Perlu Dikonsumsi saat Menurunkan Berat Badan Menurut Ahli Diet
Menarik Dibaca: 7 Makanan yang Perlu Dikonsumsi saat Menurunkan Berat Badan Menurut Ahli Diet
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News