kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

HJE dan Cukai Rokok Naik, Begini Respon DPP Pemuda Tani HKTI


Senin, 03 Januari 2022 / 22:23 WIB
HJE dan Cukai Rokok Naik, Begini Respon DPP Pemuda Tani HKTI
ILUSTRASI. Harga rokok


Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ajib Hamdani Dewan Pakar dan Ketua Satgas Ekonomi DPP Pemuda Tani HKTI menilai kebijakan pemerintah menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) rokok dan cukainya, memberatkan masyarakat dan petani tembakau.

Sebagai informasi, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris, yang mulai berlaku 1 Januari 2022 dan berimbas pada harga rokok rata-rata mengalami kenaikan 12%.

Hal ini dilakukan Pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok, terutama di kalangan anak dan remaja.

Sementara itu, berdasarkan data yang dimiliki Satgas Ekonomi DPP Pemuda Tani HKTI, konsumsi rokok dan produk tembakau ini memberikan kontribusi pendapatan cukai tembakau sebesar Rp179,83 triliun pada 2020.

Baca Juga: Kenaikan Harga Jual Eceran Rokok Diramal Bakal Kurangi Volume Penjualan Emiten Rokok

Angka ini setara dengan 7,08% kebutuhan belanja APBN sepanjang tahun 2020, yaitu sebesar Rp2.540,4 triliun. Dari capaian pemasukan tersebut, target cukai tembakau bahkan ditargetkan mengalami kenaikan untuk tahun 2022 ini menjadi sebesar Rp193 triliun.

"Target kenaikan cukai tembakau ini menjadi hal yang sangat bisa dimaklumi, karena memang negara membutuhkan pemasukan, apalagi yang berasal dari sumber yang terukur dan aman. Target cukai tembakau ini terukur karena masyarakat Indonesia sudah mempunyai captive market yang mengonsumsi rokok,” katanya, Senin (3/1).

“Jumlah masyarakat Indonesia yang sebesar 271 juta orang, nomor 4 besar dunia, adalah local domestic demand konsumsi rokok yang sangat menguntungkan dan terukur. Sedangkan cukai ini adalah sumber penerimaan yang aman, karena sebelum masyarakat melakukan konsumsi, cukai ini harus dibayarkan lebih dahulu," ucapnya.

Sebagai perbandingan, Ajib menilai pendapatan negara yang berasal dari konsumsi masyarakat yang lain, adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Perbedaannya, pada PPN ini, masyarakat melakukan konsumsi sambil membayar PPN nya, kemudian PPN ini "dititipkan" lewat jalur distribusi dan pengusaha terkait. Selanjutnya baru diperhitungkan, berapa PPN yang harus disetor ke negara.

"Konsumsi dulu, baru membayar PPN kemudian. Hal berbeda dengan cukai tembakau. Pengusaha harus melakukan pembayaran terlebih dahulu ke negara, baru bisa melakukan produksi dan selanjutnya masyarakat yang membayar atas cukai yang sudah dibayarkan didepan oleh pengusaha tadi. Jadi, penerimaan cukai tembakau ini, relatif lebih aman buat negara," sambung Ajib.

Baca Juga: Harga Jual Eceran Rokok Meningkat, Begini Tanggapan Indonesian Tobacco (ITIC)

Dengan melihat begitu strategisnya kontribusi masyarakat terhadap penerimaan cukai tembakau, sudah selayaknya kemudian pemerintah juga memberikan insentif agar terjadi peningkatan kesejahteraan para pelaku usaha, terutama di hulu, untuk para petani.

Ajib melanjutkan, dengan kenaikan tarif cukai ini, berarti pemerintah telah memberikan disinsentif fiskal terhadap produk tembakau. Untuk membuat keseimbangan dan keadilan (fairness), pemerintah seharusnya memberikan kebijakan pendukung, misalnya dalam bentuk insentif moneter.

Menurut dia, kebijakan insentif moneter ini terdiri atas dua hal, yakni dukungan jaminan atas pemberian kredit. Para petani tembakau di lapangan, menghadapi masalah yang klasik, yaitu kesulitan mendapat akses dana perbankan.

Ia menilai literasi keuangan yang masih rendah, dan juga kesiapan kebutuhan jaminan (collateral) harus dijembatani oleh pemerintah. Pemerintah bisa mengalokasikan dana, sebagai premi atas kredit yang akan dikucurkan oleh perbankan kepada para petani tembakau.

"Sehingga para petani tidak diharuskan memberikan jaminan ketika membutuhkan kredit perbankan," ujarnya.

Baca Juga: Resmi Naik, Daftar Harga Rokok 2022, Tembus Rp 40.100 per Bungkus

Lalu, insentif yang kedua adalah insentif bunga yang murah, yang menjadi kebutuhan para petani, seperti halnya program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Ajib berkata harus ada alokasi khusus KUR untuk para petani tembakau.

Sebagai ilustrasi, ketika dibutuhkan kredit perbankan sebesar Rp50 triliun, maka pemerintah cukup mengalokasikan dana penjaminan sebesar Rp2,5 triliun (dengan asumsi nilai premi 5%) dan subsidi bunga KUR sebesar Rp3,5 triliun (dengan asumsi subsidi bunga sebesar 7% selisih bunga KUR dengan bunga komersial). Ia menilai, dengan pola kebijakan insentif ini, maka petani akan mendapat dana yang mudah dan murah.

"Ketika Pemerintah bisa secara konsisten memberikan kebijakan disinsentif dan insentif secara berimbang, maka kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan para petani, yang bisa diukur dengan peningkatan Nilai Tukar Petani (NTP). Tetapi, kalau pemerintah hanya fokus dengan penerimaan negara tanpa memperhatikan kesejahteraan para petani, maka akan terjadi sebuah kondisi tembakau yang selalu disalahkan, tetapi cukainya tetap disayang," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×