Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga minyak mentah Indonesia atawa Indonesian Crude Price (ICP) bulan Januari 2025 sebesar US$ 76,81 per barel.
Angka ini naik US$ 5,20 perbarel dari ICP Desember 2024 yang dipatok pada level US$ 71,61. Penetapan ICP Januari 2025 dilakukan melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 59.K/MG.01/MEM.M/2025 tentang Harga Minyak Mentah Indonesia Bulan Januari 2025 pada tanggal 12 Februari 2025.
Plh. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Muhammad Rizwi JH mengatakan, peningkatan ICP Januari 2025 seiring dengan peningkatan harga minyak mentah utama di pasar internasional, yang dipengaruhi oleh optimisme pasar setelah China mengumumkan rencana untuk melanjutkan penurunan suku bunga dan tambahan stimulus fiskal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
OPEC memproyeksikan, pertumbuhan permintaan minyak mentah dunia tahun 2025 sebesar 1,45 juta barel menjadi 105,2 juta barel dibandingkan permintaan minyak mentah dunia tahun 2024, sebagian besar dipicu oleh meningkatnya permintaan minyak mentah oleh China, kebutuhan bahan bakar transportasi, dan meningkatnya margin kilang petrokimia
Faktor lainnya yang mempengaruhi adalah cuaca musim dingin ekstrem dan suhu yang sangat dingin di belahan bumi bagian utara. Kondisi ini meningkatkan permintaan bahan bakar pemanas ruangan dan berpotensi mempengaruhi produksi hulu migas.
Baca Juga: Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP) Januari 2025 Melonjak Jadi US$ 76,81 Per Barel
"Selain itu, kekhawatiran pasar akan pengetatan supply dan demand minyak mentah dunia, menyusul penerapan pengetatan sanksi yang lebih luas atas minyak mentah Rusia dan Iran, serta pengenaan sanksi lebih lanjut dari AS dan Eropa atas kapal tanker yang membawa minyak mentah Rusia, turut memengaruhi harga minyak mentah global," jelas Rizwi dalam keterangan resmi, Jumat (14/2).
Berdasarkan laporan mingguan Energy Information Administration (EIA) Amerika Serikat bulan Januari 2025, stok minyak mentah Amerika Serikat mengalami penurunan sebesar 500 ribu barel menjadi 415,1 juta barel bila dibanding stok di akhir bulan sebelumnya. Kemudian, melemahnya nilai tukar Dolar Amerika Serikat yang membuat investasi berbasis dolar meningkat, turut memengaruhi kenaikan ICP.
Sementara untuk kawasan Asia Pasifik, peningkatan harga minyak mentah juga disebabkan oleh peningkatan tingkat pengolahan minyak mentah pada kilang milik Pemerintah Tiongkok, seiring dengan melonjaknya marjin kilang, di saat kilang swasta mengalami kesulitan akibat terdampak sanksi dari Amerika Serikat.
"Di samping itu, terdapat peningkatan permintaan minyak mentah dari Timur Tengah, bersamaan dengan pengenaan sanksi yang lebih luas terhadap minyak mentah Rusia dan Iran. Hal ini terkonfirmasi dengan kenaikan Official Selling Price (OSP) minyak mentah Arab Saudi yang diekspor ke Asia sebesar US$ 0,40 -US$ 0,60 perbarel," tutup Rizwi.
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, kenaikan harga Indonesian Crude Price (ICP) tidak memberikan dampak signifikan terhadap proyek-proyek hulu migas.
"Harga minyak global memang fluktuatif, namun masih bertahan di atas 70 dolar per barel dalam setahun terakhir," kata Moshe kepada Kontan, Senin (17/2).
Moshe menerangkan, OPEC+ berupaya menjaga harga minyak tetap stabil agar tidak turun terlalu jauh atau naik terlalu tinggi. Kenaikan harga minyak memang menguntungkan bagi penjual minyak dan gas, tetapi karena Indonesia juga mengimpor BBM, keuntungan tersebut tidak serta-merta berdampak besar.
Menurut Moshe, secara keseluruhan fluktuasi harga minyak di kisaran US$ 60 - US$ 80 dianggap wajar dan tetap terkendali. Stabilitas harga ini penting karena baik harga yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah memiliki konsekuensi masing-masing. Oleh karena itu, industri migas terus berupaya menjaga keseimbangan harga agar tetap stabil.
Baca Juga: Harga Minyak Turun 4 Hari Beruntun Senin (17/2), Brent ke US$74,59 & WTI ke US$70,51
Sementara itu, Ekonom Energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti menilai ICP sangat ditentukan oleh Cashflow pada Masing2 ladang minyak (Oil Field) seperti CAPEX dan OPEX. Di dalamnya termasuk rezim fiskal (Indonesia menganut Product Sharing Contract) yang memang saat ini berlaku seperti, pertama, Cost Recovery atau Gross Split.
Saat ini dengan semakin menuanya sumur minyak menyebabkan reserve nya semakin berkurang. Artinya jika reserve-nya (cadangan) minyaknya semakin berkurang agak sulit bagi kontraktor mengatur skala ekonomisnya apalagi juga harga ICP nya semakin tinggi.
"Misal Kontraktor harus mengubah Asumsi Cash Flow dan akan mempengaruhi terhadap return atau masa periode proyek berdasarkan pada reserve yang dia miliki, apakah masih feasible atau tidak," ujar Yayan kepada Kontan, Senin (17/2).
Menurut Yayan, jika ICP naik memang akan meningkatkan revenue. Akan tetapi jika revenue tidak diimbangi dengan risiko, akan menyebabkan cost yang besar. Maka kenaikan ICP ini harus di optimal atau efisien berdasarkan pada risk and return pada setiap ladang/ sumur minyak.
Selanjutnya: Perikanan Indonesia Targetkan Kapal Tangkap Modern Tingkatkan Nilai Tambah 2X Lipat
Menarik Dibaca: Marco’s Chop Shop Buka Gerai Terbaru di Lippo Mall Puri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News