kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.943.000   -7.000   -0,36%
  • USD/IDR 16.342   46,00   0,28%
  • IDX 7.121   -35,11   -0,49%
  • KOMPAS100 1.037   -6,05   -0,58%
  • LQ45 793   -6,78   -0,85%
  • ISSI 232   -0,57   -0,25%
  • IDX30 412   -2,41   -0,58%
  • IDXHIDIV20 483   -2,07   -0,43%
  • IDX80 116   -0,71   -0,60%
  • IDXV30 119   0,03   0,02%
  • IDXQ30 133   -0,74   -0,55%

IMA Soroti Tantangan Pengembangan Batubara Kokas di Indonesia


Rabu, 18 Juni 2025 / 06:05 WIB
IMA Soroti Tantangan Pengembangan Batubara Kokas di Indonesia
ILUSTRASI. Sebuah tongkang bermuatan batubara di Sungai Batanghari di Desa Pulau Betung, Batanghari, Jambi, Sabtu (4/1/2025). Pemerintah provinsi Jambi mencatat realisasi pengangkutan batu bara melalui Sungai Batanghari, Jambi, pada tahun 2024 mencapai 11 juta ton per tahun atau tidak mencapai target 19 juta ton per tahun akibat perubahan debit air sungai pada waktu-waktu tertentu. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/agr


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia menghadapi sejumlah tantangan dalam mengembangkan batubara kokas (coking coal), jenis batubara berkualitas tinggi yang dibutuhkan industri baja.

Kendala utama berasal dari faktor geografis, logistik, hingga perizinan lahan, terutama di Kalimantan Tengah yang menjadi lokasi mayoritas cadangan batubara kokas nasional.

“Banyak tantangan, terutama dari sisi biaya logistik. Sebagian besar cadangan ada di Kalimantan Tengah, dan itu belum termasuk soal perizinan kehutanan. Makanya pengembangan batubara kokas belum terlalu progresif,” ungkap Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), dalam media briefing CERAH dan Energy Shift Institute (ESI), Selasa (17/6).

Baca Juga: Produksi Rekor, ESI Dorong Perusahaan Batubara RI Segera Lakukan Transisi Energi

Ia menjelaskan, wilayah Kalimantan Tengah memiliki karakteristik geografis yang menyulitkan eksplorasi dan distribusi, seperti dominasi sungai, dataran rendah, dan rawa-rawa di selatan, serta perbukitan di wilayah tengah.

Tantangan logistik semakin kompleks dengan kondisi musim yang kerap berubah.

“Adaptasi dengan sungai dan musim juga jadi faktor. Jadi bukan hanya soal cadangan, tapi bagaimana mengekstraksi dan mengangkutnya,” imbuh Hendra.

Meski begitu, pemerintah tetap membuka ruang impor batubara kokas yang diatur oleh Kementerian ESDM.

Hal ini karena kebutuhan smelter baja seringkali memerlukan spesifikasi batubara yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri.

“Impor memang sudah terjadi sejak lama, karena cadangan kita belum besar dan kualitasnya sangat spesifik,” ujarnya.

Baca Juga: Hilirisasi Besi-Baja Justru Dorong Indonesia Impor Batubara Kokas Lebih Banyak

Data Kementerian ESDM mencatat tren peningkatan impor batubara kokas sejak 2014, dengan lonjakan signifikan pada 2021.

Setelah sempat menurun pada 2022, angka impor kembali naik di 2023.

Berikut data impor coking coal Indonesia dalam empat tahun terakhir:

  • 2020: 8,76 juta ton
  • 2021: 14,47 juta ton
  • 2022: 12,5 juta ton
  • 2023: 14,46 juta ton

Baca Juga: Langka! China Mengekspor Batubara Kokas ke Indonesia

Di sisi lain, Bisman Bakhtiar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), menilai praktik impor coking coal adalah hal yang wajar dalam perdagangan global.

“Khusus untuk coking coal, karena memang ini jenis batubara spesial yang sangat dibutuhkan industri baja dan sangat terbatas di dalam negeri,” kata Bisman.

Menurutnya, saat ini belum ada urgensi bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan protektif terkait coking coal.

Namun, ia mengingatkan pentingnya monitoring berkelanjutan terhadap perdagangan batubara, terutama jika melibatkan perusahaan terafiliasi.

“Pemerintah harus tetap waspada atas potensi transfer pricing dalam ekspor-impor antar entitas afiliasi. Jika perlu, afirmasi terhadap pelaku dalam negeri harus dipertimbangkan,” jelasnya.

Baca Juga: Saham Batubara Berpeluang Pulih dari Berbagai Tekanan, Simak Rekomendasi Sahamnya

Sebagai informasi, batubara kokas dengan nilai kalori antara 5.800 hingga 7.500 kcal/kg Gross Air Received (GAR) memiliki harga lebih tinggi dibanding batubara thermal biasa yang digunakan di PLTU.

“Coking coal ini kualitas super, kalorinya bisa di atas 7.000. Harga pasar globalnya saat ini sekitar US$ 120 per ton, jauh di atas batubara thermal,” pungkas Bisman.

Selanjutnya: Kejagung Sita Uang Wilmar dari Korupsi Fasilitas CPO

Menarik Dibaca: Cara Mengubah Nama di Facebook Sesuai Aturan biar Cepat Disetujui

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×